Pengamat politik Ubedilah Badrun menafsir ulang penunjukkan posisi K.H Ma'ruf Amin (KMA) sebagai wapres dalam hubungannya dengan peluang Prabowo sebagai  wapres cadangan (detik.com, 12/08/2020).Â
Menurut analisis Ubed PDIP memasang KMA dengan perhitungan berikut:
- KMA karena faktor usia, lebih mungkin untuk dikondisikan jika harus berhenti di tengah jalan, dalam arti ada potensi alasan masuk akal jika itu terjadi;
- Mahfud MD dicegah naik, alasannya untuk menghindari mantan politisi PKB tersebut mencuri start Pilpres 2024 yang dapat merugikan PDIP;
- Prabowo atau Airlangga Hartarto berpeluang menjadi wapres jika KMA mundur mengingat dominasi suara Gerindra dan Golkar yang kuat di DPR; artinya legitimate. Baik karena alasan kesehatan maupun karena memang ada kesepakatan untuk jadi RI 2 separuh jalan, KMA dapat mundur sewaktu-waktu menurut Dosen UNJ tersebut.
Dari catatan media, tanggapan atas analisis tersebut dari kubu petahana plus Gerindra pada umumnya negatif.
Wasekjen PPP Achmad Baidowi menuding analisis tersebut murahan sementara PKB menengarai adanya pihak yang bermain dengan isu tersebut untuk kepentingan tertentu. Respon Golkar dan Gerindra juga tidak jauh berbeda. Sementara PDIP belum menanggapi.
Jika merunut ke belakang saat penentuan pasangan capres-cawapres, kubu istana memang sempat bimbang memilih antara KMA dan Mahfud MD sebagai representasi warga Nahdliyin. Dalam detik-detik penentuan, elit PKB mengultimatum Jokowi agar memilih KMA dengan alasan Mahfud bukan kader NU.
Jazilul Fawaid, (solopos.com, 12/07/2018):
"Pak Mahfud memang tidak mewakili NU, sehingga tidak mempunyai efek elektoral keterpilihan bagi warga NU atau Nahdliyin. Sementara para kiai NU sudah memberi mandat kepada Cak Imin. .... Jadi, kalau Pak Jokowi ingin menang pilih cawapres yang tidak bertentangan dengan arus bawah di NU."
Dari file lama tersebut jelaslah analisis Badrun tidak punya pijakan kuat. Andaikan Mahfud MD tereliminasi untuk menghindari popularitasnya meningkat menjelang Pilpres 2024, maka agaknya itu lebih merupakan kepentingan Ketum PKB Cak Imin (Muhaimin Iskandar) daripada PDIP. Persaingan KMA dan Mahfud adalah dinamika internal politisi PKB yang mengklaim sebagai representasi warga Nahdliyin.
Kemudian asumsi yang meragukan dari tafsir politik Ubedillah  Badrun adalah soal kekuatan legitimasi pemerintahan Jokowi dari sudut pandang elektoral. Prabowo dan Airlangga Hartarto dapat menjadi wapres bayangan dikatakan karena kursi di DPR yang mereka miliki lebih banyak.
Jika suara partai menjadi pertimbangan maka Jokowi seharusnya sejak awal memilih Airlangga sebagai cawapres. Hasil Pemilu 2014 menunjukkan Golkar masih termasuk tiga besar terkuat di parlemen di luar PDIP dan Gerindra. Dalam pesta demokrasi kala itu Golkar meraih 14,75 persen suara; sedangkan PDIP 18,95, dan Gerindra 11,81 persen. Seandainya faktor perolehan suara partai menjadi perhitungan, maka  tentu Golkar dan bukan PKB yang "dianakemaskan" koalisi kubu Jokowi.
Namun tentu  tidak ada asap kalau tidak api menyala. Fenomena apa kira-kira yang melatarbelakangi munculnya wacana wapres bayangan?
Pascapilpres 2019 sudah jamak diketahui bahwa anomali politik tanah air dimulai saat Gerindra tiba-tiba berputar haluan merapat ke kubu lawan. Soal ini juga tentunya merupakan masalah yang debatable; siapakah yang mengedipkan mata terlebih dahulu, Prabowo atau Megakah? Atau justru tidak ada kedip-kedipan.
Kemudian biang perdebatan yang cukup heboh saat ini adalah polemik penganugerahan Bintang Mahaputera.
Masih jengkel Riziek Shihab dan FPI-nya dengan ulah Prabowo yang menikung tanpa ngasih lampu sen, tiba-tiba istana mengumumkan kabar mengejutkan. Duo F "musuh berat" Jokowi --Fadli Zon dan Fahri Hamzah-- masuk nominasi penerima Bintang Mahaputra Nararya yang  diberikan hari ini.Â
Sekarang Denny Siregar yang giliran mencibir, ternyata memperoleh penghargaan itu tak sesulit yang ia duga.
Denny Siregar (twitter.com/ @DennySiregar7):
"Akhirnya kita paham, bahwa untuk mendapatkan bintang Mahaputra gak perlu prestasi, gak perlu tauladan, gak perlu sesuatu yang luar biasa yang berguna dan akan dikenang.. Cukup nyinyir di media setiap saat. Gampang ya ternyata.."
Megawati dan Prabowo pernah maju --untuk kalah-- dalam Pilpres 2009 dengan kesepakatan hitam di atas putih seperti yang tertera pada Perjanjian Batu Tulis 16 Mei 2009. Menurut perjanjian tersebut PDIP-Gerindra menyepakati kerjasama untuk memenangkan Megawati-Prabowo dan mendukung pencalonan Prabowo sebagai capres dalam pemilu berikutnya.
Meskipun akhirnya kalah tetapi pengaruh ikrar Batu Tulis tampaknya terus berlanjut. Dalam Pilgub DKI 2012 dukungan Gerindra mampu mengantar kader PDIP Joko Widodo menjadi orang nomor satu di ibu kota. Dan cerita selanjutnya sama-sama kita tahu, akhirnya Jokowilah yang membuyarkan mimpi Prabowo menjadi RI 1 pada Pilpres 2014.
Momentum Pilpres 2014 ini yang lalu menjadi bahan kajian menarik. Apakah tidak mungkin saat itu PDIP-Gerindra "bermain peran" dengan tetap mengusung semangat Batu Tulis 2009 itu.
Asumsi kemungkinan itu adalah, jika pihak PDIP menang maka Gerindra akan dirangkul masuk pemerintahan. Dan sebaliknya begitu pula, jika Gerindra menang maka PDIP yang akan digandeng masuk istana.
Kemungkinan tersebut bukanlah kesimpulan tanpa bukti. Pada saat periode pertama  berkuasa, Jokowi pernah menawarkan posisi cawapres bagi Prabowo menyongsong Pilpres 2019. Tawaran tersebut ternyata tidak berbuah. Prabowo memilih takdirnya untuk bertarung habis-habisan melawan Jokowi demi meraih mimpinya yang nyaris usang didera waktu. Toh tetap sama hasil akhirnya, 2-0 untuk bapaknya Gibran.
Setelah tumbang untuk kedua kalinya, Prabowo menyadari bahwa persepsi kekuatan politiknya tidak terkonfirmasi di dunia nyata. Bahkan mungkin pula Prabowo sudah mafhum peluang kekalahannya sebelum laga. Kita masih ingat lobi Luhut Binsar Panjaitan --tokoh yang dituakan di kubu Jokowi-- untuk meyakinkan Prabowo agar maju pilpres untuk ke sekian kali pada tahun 2019. Bukankah hal yang ganjil jika capres harus diyakinkan untuk maju justru oleh kubu lawannya (kompas.com, 07/04/2018).
Jika kerangka plot Batu Tulis ini melandasi keputusan-keputusan Gerindra-PDIP maka apa yang terlihat anomali di permukaan sebenarnya adalah logika sederhana saja. Riziek Shihab tak perlu kecewa belum dijemput pulang --berharap terlalu banyak pada Prabowo--, Denny Siregar tak usah gumunan. Bintang Mahaputera untuk Fadli Zon bukanlah suatu yang luar biasa dan Prabowo dengan posisi istimewanya tidaklah janggal.
Yang mestinya aneh adalah tafsir politik yang menyebutkan bahwa KMA dipasang untuk melapangkan jalan Prabowo seperti yang dikatakan Ubeidilah Badrun. Tidak ada hubungannya itu, asal tahu saja.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H