Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pandemi Corona Sudah Tembus 20 Juta, Siapa (Masih) Takut?

11 Agustus 2020   00:58 Diperbarui: 12 Agustus 2020   08:23 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun kasus Covid-19 di Indonesia sudah lebih dari 127.000 dan yang meninggal mendekati 6.000, tetapi kita sudah lebih "tenang" menghadapinya. Berbeda ketika pertama muncul di Depok yang sampai-sampai pengumumannya dilakukan Presiden Jokowi sendiri. Sangat sensitif.

Awal-awal  kasus pertama  --yang segera meningkat jadi puluhan-- menyebabkan kita kalang kabut. Data-data diperdebatkan dan ramalan-ramalan diperbandingkan, mana yang paling mengerikan. Tambah menjadi-jadi ketika kasus harian mencapai ratusan yang disampaikan dalam pengumuman tiap  petang.

Angka-angka psikologis lalu ditetapkan sebagai penanda pencapaian kasus yang terus melonjak dengan cepat.

Batas rekor 500 kasus per hari yang ditakuti akhirnya pecah. Patoknya lalu dipasang lebih tinggi jadi 1.000. Lewat juga. Bahkan kini penambahan kasus harian di atas 2.000 sudah biasa. Kemarin 10 Agustus 2020 "kurs" Covid-19 berada di angka 1.687. Dengan menggelorakan semangat 45 marilah kita turunkan corona secepat-cepatnya.

Menanggapi perkembangan kasus Covid-19 saat ini, Mendagri Tito Karnavian menyatakan bahwa Presiden Jokowi meminta semua pihak betul-betul all out. Permintaan tersebut diiringi  Inpres No. 6 tahun 2020 yang memuat penegakkan disiplin protokol Covid-19 beserta sanksi-sanksinya (kompas.com, 10/08/2020).

Di tingkat global jumlah kasus secara keseluruhan di muka bumi sudah mencapai 20 juta lebih. Korban meninggal 735.000 jiwa menurut worldometer. 

Dengan pergerakan wabah yang ganjil itu mestinya kita semakin merasa gawat secara positif, waspada. Nyatanya tidak. Yang masih percaya teori konspirasi masih ada dan cukup merepotkan untuk mengurusnya satu per satu.

Jerinx SID pernah siap mati untuk bertatap muka tanpa masker dengan pasien Covid-19. Musisi bernama asli I Gede Ari Astina ini juga meledek IDI sebagai kacung WHO dan bahkan menuntut organisasi para dokter  itu membubarkan diri. Alhasil tukang pentung drum ini harus meluangkan waktu beberapa saat di kantor polisi sebelum akhirnya minta maaf.

Jerinx SID (tribunnews.com, 10/ 08/ 2020):

"Itu saya klarifikasi sekarang, jadi kemarin percakapan saya dengan wartawan media online itu saya pikir off the record. Dan itu akan disampaikan secara personal kepada IDI-nya, saya tidak tahu itu akan dicetak."

Menyusul kawannya tadi, Anji ikut pula meramaikan dunia per-Covid-an dari sisi yang berlawanan. Dan  tak kalah hebohnya.

Penyanyi, musisi, sekaligus  merangkap Youtuber itu meyakini bahwa ia telah menemukan sosok ilmuwan mikrobiologi  Hadi Pranoto, penemu herbal antibodi corona.

Dari penggunaan istilah "obat herbal" dan "antibodi" yang kacau saja mudah dipahami mengapa "Prof." Hadi ini tidak dikenali oleh kolega-koleganya yang tulen dari universitas ternama. 

Hadi Pranoto, (tempo.co, 01/08/2020):

"Saya tegaskan ini bukan vaksin, tapi herbal antibodi agar masyarakat terhindar dari penularan Covid."

Herbal dengan antibodi itu berbeda, salah satunya adalah dalam proses pembuatan atau pembentukan. Obat herbal diramu atau diracik, misalnya oleh mbok jamu atau di pabrik-pabrik; sedangkan antibodi bukan benda semacam itu.

Antibodi dibuat dalam tubuh setelah seseorang terinfeksi virus, baik secara sukarela melalui vaksinasi atau terpaksa melalui penularan yang tidak dikehendaki. Setelah terbentuk dalam tubuh antibodi ini bisa diberikan kepada orang lain atau diturunkan, misalnya dari ibu kepada bayinya. Yang pasti antibodi ini bukan sesuatu yang bisa ditumbuk di dalam lumpang seperti kunyit atau lengkuas.

Antiklimaks kasus, Anji akhirnya insyaf dan spik spik mau collabs dengan IDI segala. Sementara itu Hadi Pranoto yang dipolisikan Muannas Alaidid malah balik melapor dan menuntut balik. Ganti rugi yang diminta memang tidak terlalu besar, cuma Rp 150 T.


Respon pemerintah terhadap wabah beserta dampaknya saat ini sudah lebih baik. Kalau dahulu pemerintah sempat pede --karena belum paham-- di awal dan lalu menjadi serba takut; sekarang sudah pede betulan karena mulai paham. Terlihat dari bergesernya kebijakan yang lebih mengarah ke aspek pemulihan ekonomi.

Program Kartu Prakerja yang sempat ditunda kini kembali aktif, artinya pencairan duit. Gaji ke-13 juga turun untuk abdi negara. Bagi pekerja yang upahnya pas-pasan dapat pula "tunjangan" yang besarnya Rp 600 ribu sebulan sebanyak 4 kali. Sementara itu dari sektor perbankan ada usul agar bunga bank 1 digit saja agar banyak pendaftar mengajukan pinjaman.

Mengapa seperti jor-joran begitu?

Pemerintah ingin agar ekonomi segera pulih. Setelah sebelumnya nyungsep sampai minus 5 persen, diharapkan triwulan berikutnya segera naik walau sedikit. Kalau minus lagi bisa gawat terperangkap resesi. Dana PEN, pemulihan ekonomi nasional, sebesar hampir  Rp 800 triliun terancam muspro.

Ekonomi memang penting tapi virus juga masih di depan mata. Harus berimbang dan lebih ketat menjalankan protokol Covid-19. Yang aneh-aneh segera sikat sampai bersih dan tidak aneh lagi. Yang caper-caper kasih panggung wawancara di Polres terdekat.

Watak corona belum seutuhnya dipahami manusia. Seperti catatan worldometer tadi, angkanya secara global masih menanjak tanpa ada tanda-tanda kehabisan tenaga. Bagaimana jika nanti bertambah kuat? Regenerasi virus terjadi berkali-kali dalam sehari.

Negara yang tadinya nol kasus belum tentu akan terus begitu. Vietnam baru saja mencatat kasus kematian yang pertama akibat Covid-19. Yang sudah bebas dari belenggu lockdown pun bisa terpapar ulang sewaktu-waktu. Data menunjukkan, serangan Covid-19 bisa terjadi dua kali atau lebih seperti terjadi di China, Korea, atau Jepang. Tidak terkecuali negara kita yang edisi pertama saja belum tamat.

Pemerintah harus secepatnya meninjau kebijakan-kebijakan yang keliru untuk diluruskan, diganti, atau dibuang. Tenaga-tenaga yang loyo atau tak bisa berlari kencang ada baiknya lekas diperbarui.

Selain  harus semakin galak dalam pengawasan alokasi anggaran, Jokowi juga harus menggenjot tim kampanye atau sosialisasi kesehatan  yang lebih efektif. Kepala daerah atau pejabat yang masih santuy perlu lebih sering diajak ngobrol di istana. Pendekatan dari hati ke hati, agar tahu maunya apa.

Soal vaksin memang penting dan katanya sudah tahap ini dan itu.  Menjanjikan. Tetapi harap diingat bahwa vaksin juga bukan solusi sapu jagat;   harganya belum tentu murah dan khasiatnya belum tentu mujarab. Apalagi vaksin yang dibuat secara tergesa-gesa.

Korban pandemi corona 735.000 jiwa dari 20 juta kasus global berarti 3,6 persen. Di Indonesia angka itu besarnya 4,5 persen.

Kita seperti tak kuasa mengira-ngira hingga akhir tahun berapa jumlah kasusnya kelak, andai wabah tak reda. Presiden Jokowi harus lebih nyata ambil contoh dan tindakan: kerja keras, cerdas, tegas, dan jelas. Jangan ada lagi pejabat yang gagal paham kali ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun