Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pelajaran dari Lebanon yang Ingin Menggadaikan Kemerdekaannya

10 Agustus 2020   10:28 Diperbarui: 11 Agustus 2020   06:48 2381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah petisi telah ditandatangani oleh sekitar 60.000 warga Lebanon. Isi petisi itu intinya menginginkan Lebanon kembali hidup di bawah mandat pemerintah Prancis selama 10 tahun.

Dasar petisi itu adalah ketidakpercayaan rakyat Lebanon atas pemerintah mereka yang dianggap tidak mampu mengurus hajat hidup mereka. Sistem yang digunakan untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara dianggap telah gagal (kompas.com, 08/ 08/ 2020).

Pemicu petisi tersebut yaitu ledakan 2.750 amonium nitrat di Beirut. Ledakan yang menewaskan 158 orang dan 5.000 lebih terluka itu juga menjadi puncak ledakan kekecewaan atas nasib yang tak kunjung berubah.

Selama beberapa dekade Lebanon hidup dalam kekacauan. Perang saudara berkepanjangan, terorisme, persaingan antarmilisi, dan korupsi yang massif menyebabkan kesejahteraan tak kunjung tiba. Karena itulah muncul ide untuk mencabut mandat dari pemerintah dan meyerahkannya ke Perancis.

"Dengan sistem yang gagal, korupsi, terorisme, dan adanya milisi, negara baru saja mengembuskan napas terakhir. Kami percaya Lebanon harus kembali di bawah mandat Prancis untuk membangun pemerintahan yang bersih dan tahan lama."

Apa yang terjadi di Lebanon saat ini juga mengingatkan kasus yang hampir sama di beberapa negara di Timur Tengah. 

Negara-negara gagal bermunculan seperti yang terjadi di Irak, Suriah, Libya, Afganistan, atau Yaman. Di negara tersebut rakyat hidup dalam keterpurukan yang entah sampai kapan akan berakhir.

Bisa selamat hidup sampai esok hari saja menjadi harapan yang sangat berharga. Teror bom bunuh diri bisa meledak sewaktu-waktu; pertikaian kelompok bersenjata bisa berlangsung kapan saja.

Mereka, negara-negara gagal itu, sangat sulit lepas dari intervensi asing. Selain tergantung dari bantuan kemanusiaan untuk mencukupi kebutuhan hidup, kelompok elit juga perlu perlindungan untuk menghadapi kelompok lawan. Untuk itulah mereka secara sadar menggadaikan hidup mereka ke tangan negara asing. 

Pasukan perdamaian PBB juga kerap menjadi harapan terakhir untuk menengahi pertikaian antarkelompok bersenjata.

Lebanon padahal adalah negeri senior. Namanya sudah tercantum  ribuan tahun lalu dalam epik Gilgamesh dan Perjanjian Lama, antara 2.500 - 2.900 SM. Jika dihitung hingga hari ini Lebanon atau Lubnan adalah negeri yang sudah eksis selama 5.000 tahun!

Dalam konteks negara modern, Lebanon berusia 2 tahun lebih tua dari Indonesia. Negeri di tepi Laut Mediterania itu lepas dari penjajahan Prancis tanggal 22 November 1943. Latar belakang historis itu yang menjelaskan mengapa PM Prancis Emmanuel Macron lekas datang menjenguk ketika Beirut meledak. Hal itu pula yang jadi musabab mengapa ada petisi 60.000 warga ingin "dijajah" Prancis kembali.

Adakah orang  Indonesia yang ingin kembali diperintah Belanda atau Jepang? Tentu tak ada.

Tetapi akhir-akhir ini kerap bermunculan sekelompok orang mengagung-agungkan bendera negara asing. Hilir mudik iring-iringan massa membawa bendera negara lain saat berunjuk rasa. Selain bendera negara asing, di medsos acap kali muncul netizen yang mengelu-elukan kepala negara asing. 

Seringnya muncul bendera asing dalam demo masih "lumayan". Kadang-kadang kelompok-kelompok eksklusif yang merasa diri lebih baik itu melakukan tindakan intoleran yang memaksakan kehendak atau kebenaran sendiri. 

Hari Sabtu malam, 8 Agustus 2020, terjadi keributan di Pasar Kliwon, Solo. Sekelompok massa membubarkan acara pernikahan warga karena dianggap sesat menurut mereka. Beberapa warga menjadi korban pemukulan, bahkan termasuk Kapolresta Solo Raya (jateng.inews.id, 09/ 08/ 2020).

Kemerdekaan yang kita raih tahun 1945 sudah melalui rangkaian pengorbanan yang amat panjang. Entah berapa juta pengorbanan jiwa yang telah jatuh hingga Indonesia bisa menghirup udara segar hari ini.

Oleh karena itu tidak akan pernah kita serahkan warisan para pendahulu kita kepada siapapun; bahkan atas nama agama sekalipun. Kita sendiri adalah orang-orang beragama, bukan kaum atheis. Ulama-ulama kita sendiri, rohaniwan, dan ahli agama dalam negeri sudah cukup memadai.

Jika ada segelintir warga yang menganggap pemerintah asing lebih baik maka seharusnya yang bersangkutan hijrah ke sana sendiri. Negara memfasilitasi dan bila perlu menyediakan tiket; daripada mengganggu dan membuat gaduh kehidupan yang tenteram dan damai di negeri sendiri.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun