Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menyoal Dasar Ilmiah Label Zona Hitam Covid-19

14 Juli 2020   21:27 Diperbarui: 14 Juli 2020   21:19 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam penulisan berita yang berkaitan dengan fakta ilmiah, wartawan harus menghindari jebakan pseudosains dan atau --lebih parah-- bersikap anti-sains. Cara dan sikap demikian berpotensi menimbulkan kebingungan dan respon skeptis terhadap media di masyarakat.

Salah satu yang sedang hangat diperdebatkan saat ini adalah polemik istilah zona hitam kasus Covid-19. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengatakan bahwa sebutan zona hitam di Solo baru-baru ini tidak punya dasar pijakan (kompas.com, 14/07/2020).

Ganjar Pranowo soal Solo zona hitam:

"Zona hitam ki jarene sopo to? (Zona hitam itu katanya siapa sih?) Yang ngomong siapa? Mungkin pengamat atau lagi benci? Kok banyak yang bilang zona hitam. Mungkin yang hitam itu bajumu!"

Solo bukanlah yang pertama, istilah zona hitam lebih dulu disematkan pada Surabaya awal Juni lalu. Walikota Surabaya sempat meluapkan kegusarannya atas stigma tersebut, sementara Walikota Solo lebih santai menyikapi.

Penulisan istilah zona hitam di media

Tanggal 03 Juni 2020 kompas.com menulis berita berikut:

"Mengenal Apa Itu Zona Hitam di Surabaya dan Mengapa Bisa Terjadi?

Dalam berita tersebut terdapat ilustrasi peta zonasi kasus Covid-19 di bagian timur provinsi Jawa Timur dengan wilayah Surabaya yang tampak lebih pekat. Warna dominan adalah warna merah. Keterangan di bawah ilustrasi tersebut adalah:

"Dalam peta sebaran Covid-19 di Jawa Timur, Kota Surabaya terlihat berwarna hitam sejak empat hari terakhir.(Tangkapan layar)"

Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa wilayah Surabaya tidak berwarna hitam tetapi terlihat berwarna hitam. Keterangan gambar kenudian konsisten dengan kalimat pembuka pada berita. Penulis menyebutkan bahwa wilayah Surabaya tidak berwarna hitam tetapi (sekali lagi) tampak terlihat berwarna hitam. Warna sesungguhnya Surabaya pada peta adalah merah tua.

 "Argumen" bahwa Surabaya adalah zona hitam kemudian diperkuat penulis dengan "menyitir" pernyataan seorang pengguna Facebook,  Ika Devi. Penuturan yang dikatakan di dalam akunnya --mengutip berita yang sama-- adalah sebagai berikut:

 "Surabaya jadi zona hitam ..bukan merah lagi. Stay safe Jangan lupa berdoa. Jangan lupa vitamin. Menjadi sapaan Tiap hari untuk sahabat dan TS..Rip dr is Tjahjadi SPPD."

Jadi sebutan zona hitam itu berdasarkan interpretasi atas gambar tangkapan layar di mana wilayah Surabaya terlihat berwarna hitam, yang padahal berwarna merah tua. Hal itu lalu diperkuat oleh pernyataan seorang pengguna Facebook yaitu Ika Devi.

Penyebutan istilah zona hitam itu sendiri kemudian dikoreksi pada bagian berita selanjutnya.

Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyebutkan bahwa zona yang dimaksud memang tampak berwarna hitam namun aslinya berwarna merah. Dicky mengatakan bahwa untuk penambahan kasus di atas 2000 maka warna satu zona pada peta akan tampak berwarna hitam.

Dicky Budiman:

"Sebetulnya yang aslinya itu bukan warna hitam, aslinya warna merah. Jadi ketika angka kasus baru di atas 2.000-an, maka daerah itu akan berwarna merah. Jadi tampak seperti hitam."

Pernyataan Dicky Budiman kemudian dipertegas oleh tulisan lain yang berisi penjelasan warna zona menurut Color Zone Pandemic Response Version 2.

Panduan yang dipublikasikan oleh Chen Shen dan Yaneer Bar-Yam hanya mendefinisikan 4 warna zonasi yang berhubungan dengan pandemi Covid-19. Empat warna yang dimaksud adalah hijau, kuning, oranye, dan merah. Tidak ada kategori zona hitam menurut Chen Shen dan Yaneer Bar-Yam (kompas.com, 03/07/2020).

Dampak kekeliruan

Pelabelan daerah Covid-19 berdasarkan interpretasi zona warna yang semena-mena dapat menimbulkan persoalan baru. Yang pertama adalah terjebak dalam inkonsistensi. Kemudian yang kedua adalah pandangan konsumen berita.

Inkonsistensi terjadi karena daerah lain --dalam kasus ini-- yang lebih parah dari Surabaya (atau Solo) tidak disebut zona hitam. 

Jakarta sebagai contoh. Pemkot Surabaya merasa bahwa label zona hitam di kotanya bersifat diskriminatif karena wilayah ibu kota yang kasus coronanya lebih tinggi tidak disebut zona hitam (kompas.com, 03/06/2020).

M Fikser, Koord. Humas Satgas Covid-19 Surabaya:

"Pertanyaan saya, Jakarta yang angkanya di atas Surabaya, ada enggak warnanya hitam? Itu pertanyaan saya, ini yang tadi didiskusikan."

Inkonsistensi kategori kemudian akan menimbulkan persepsi yang berlainan pula di kalangan konsumen berita.

Sebagian pembaca mungkin akan menerima --taken for granted-- isi berita bahwa memang betul zona hitam itu ada, dan kotanya adalah Surabaya dan Solo. Zona hitam dipersepsikan lebih parah dibandingkan zona lain, yang walaupun pada kenyataanya tidak seperti data yang ada.

Sebagian pihak mungkin memandang bahwa labelisasi di luar kategori itu bermaksud untuk memberikan peringatan keras bagi warga kota yang bersangkutan. Dalam hal ini Walikota Solo, FX Rudyatmo dan Ketua Satgas Covid-19 Solo, Ahyani. Namun alangkah harmonisnya jika maksud baik itu dilandasi dasar ilmiah yang disepakati para ahli yang berkompeten (kompas.com, 13/07/2020).

Tetapi persoalan akurasi untuk berita berkadar ilmiah tinggi adalah satu hal lain yang berbeda dan sensitif.

Dalam percakapan sehari-hari adalah hal yang lumrah jika pembicara menggunakan kata sifat untuk memperkuat pernyataan agar menarik minat pendengar. Dalam dunia medsos,  atau bahkan artikel opini, penggunaan kata sifat juga punya kecenderungan yang lebih tinggi. Tetapi dalam artikel berita?

Seharusnya suara pakar --dan sesuai bidangnya-- didahulukan untuk disampaikan melalui berita sebagai panduan bagi warga kebanyakan.

Tentu hal itu tidak selalu mudah. Dalam dunia ilmiah pada kenyataannya tidak semua permasalahan memiliki kata sepakat dari para suhu yang berkecimpung di dalamnya. Tetapi justru di sanalah peran penting jurnalistik, menyodorkan berbagai sudut pandang dengan jernih sehingga dapat menjadi panduan masyarakat dan para pengambil keputusan.

Hal-hal demikian yang agaknya cukup krusial akhir-akhir ini. Kita berada pada masa di mana suara (segelintir) pakar bisa tak kalah provokatifnya dibanding dengungan awam, berkat massifnya medsos dalam kehidupan sehari-hari. Voice  semakin  hilang tertelan oleh dominasi noise.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun