Mahkamah Agung mengabulkan gugatan judicial review yang dilayangkan Rachmawati atas Pasal 3 Peraturan KPU No. 5 tahun 2019. Pasal yang berisi --salah satunya-- penetapan hasil pilpres tersebut dianggap sebagai norma baru yang bertentangan dengan UU Pemilu No. 7 tahun 2017 (kompas.com, 7/ 7/ 2020).
Kemenangan tersebut tampaknya akan menjadi pemicu isu pemakzulan Jokowi berikutnya, setelah isu RUU HIP kendor di jalan. Wacana RUU ternyata kalah seksi dengan kabar reshuffle dari istana.
Sebagai pemanasan, segelintir warganet sudah bergerak mengkondisikan medsos dengan tayangan korban kerusuhan Mei 2019 saat demo menolak hasil pemilu.  Narasinya tak jauh seputar  kekejaman rezim Jokowi, yang bertindak brutal untuk menutupi kecurangan demi meraih kemenangan. Topik 'Putusan MA'  trending di twitter pada siang hari ini.Â
Â
PA 212 Tak Kaget Soal Gugatan Pilpres yang Baru Diupload MA, Memang Sudah Terindikasi Curanghttps://t.co/RsJgHtA9Zc— GELORA NEWS (@geloraco) July 7, 2020
Â
Sebelum membahas gugatan Rachmawati yang dimenangkan MA kita petakan dahulu bagian-bagian permasalahan. Pertama, yang berkaitan dengan hasil pemilu, khususnya pilpres. Yang kedua, berkaitan dengan pengajuan gugatan.
Hasil rekapitulasi suara pilpres
Secara singkat, proses penghitungan suara pilpres secara resmi oleh  KPU memperoleh hasil sebagai berikut.
Pasangan 01, Capres Prabowo-Hatta memperoleh suara sebanyak 62.576.444 (46,85 persen) dan menang di 10 provinsi.
Pasangan 02, Capres Jokowi-JK memperoleh suara sebanyak 70.997.883 (53,15 persen) dan menang di 23 provinsi.
Selisih kemenangan suara untuk paslon Jokowi-JK sebanyak 8.421.389 (6,3 persen).
Pasangan 01, Capres Jokowi-Amin memperoleh suara sebanyak 85.607.362 (55.50 persen) dan menang di 21 provinsi.
Pasangan 02, Capres Prabowo-Sandi memperoleh suara sebanyak 68.650.239 (44,50 persen) dan menang di 13 provinsi.
Selisih kemenangan suara untuk paslon Jokowi-Amin sebanyak 16.957.123 (11 persen).
Dari kedua pilpres dapat kita simpulkan bahwa dalam Pilpres 2019, Jokowi meraih kemenangan lebih besar dibanding sebelumnya. Persentase suara yang diperoleh petahana bertambah dari 53,15 persen menjadi 55,50 persen.
Kesimpulan berikutnya,  Jokowi tetap menguasai lebih dari  separuh jumlah provinsi yang ada namun terjadi penurunan. Dalam Pilpres 2014 Jokowi-JK menang di 23 provinsi, sementara Pilpres 2019 hanya mendominasi di 21 provinsi saja.
Gugatan diajukan setelah diketahui Prabowo-Sandi kalah
Berkaitan dengan pasal yang digugat Rachmawati dkk., konteks peristiwa yang berhubungan dengan proses-prosesnya dalam pemilu urutan kronologisnya adalah sebagai berikut.
29 Januari 2019:Â KPU menetapkan Peraturan No. 5/ 2019 tentang pilpres 2 paslon.
17 April 2019:Â Pemungutan suara Pemilu 2019.
25 April 2019:Â Quick count dirilis, prediksi Jokowi-Amin menang.
14 Mei 2019:Â Rachmawati menggugat PKPU No. 5/ 2019 ke MA.
21 Mei 2019:Â Penetapan hasil Pemilu 2019, Jokowi-Amin menang.
20 Oktober 2019:Â Jokowi-Amin dilantik sebagai.
28 Oktober 2019:Â Putusan MA mengabulkan gugatan Rachmawati.
03 Juli 2020:Â Putusan MA diunggah di laman MA.
Tanpa membahas pasal pun kita sudah membaca ke mana arah gugatan kader Gerindra tersebut.
Peraturan penetapan hasil pemilu sudah ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman sejak 29 Januari 2019. Artinya, Â ada waktu sekitar 3 bulan menjelang pemungutan suara.
Tidak mungkin partai-partai peserta pemilu tidak mengetahui substansi peraturan KPU. Begitu juga dengan timses pasangan capres. Namun, mengapa Rachmawati baru menggugat 14 Mei 2019 ketika pilpres sudah selesai dan quick count sudah dirilis?
Dalam publikasi hitung cepat secara real time, mayoritas lembaga survei sudah berkesimpulan bahwa Jokowi-Amin keluar sebagai pemenang dan Prabowo-Sandi kalah. Rekapitulasi berdasarkan formulir C1 selesai 21 Mei 2019 dan hasilnya tak jauh beda dengan quick count.
Jelas terlihat bahwa gugatan Rachmawati motivasinya hanya ingin menghambat proses yang sedang berjalan. Seandainya Prabowo-Sandi menang versi quick count apakah gugatan akan tetap dilayangkan?
Kejanggalan lain  yang terlalu kentara adalah  logika parsial  dalam menyikapi hasil pileg dan pilpres.
Pihak penggugat menerima hasil pemilu legislatif (pileg) tetapi menolak hasil pilpres, padahal prosesnya bersamaan. Dalam pileg diketahui Gerindra dan PKS termasuk partai yang meraih peningkatan suara signifikan meski dua sekutunya, PAN dan Demokrat, terkapar.
Pasal-pasal yang dipersoalkan
Gugatan atas Peraturan KPU sebenarnya hanya berkutat di seputar polemik landasan hukum untuk pilpres 2 paslon. Undang-undang yang mengatur persoalan tersebut memang tidak secara eksplisit menyebutkan bagaimana penetapan hasilnya.
Pasal 3 ayat 7 PKPU No. 5/2019 yang digugat berbunyi:
"Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih".Â
 Sementara undang-undang yang dianggap mementahkan PKPU di atas yaitu UU No. 7/ 2017 pasal 416 ayat 1, berbunyi:
"Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".Â
KPU menggunakan logika bahwa untuk pilpres dengan 2 kandidat pemenangnya adalah yang meraih lebih dari separuh suara. Kemudian, pemenang juga berhasil mendominasi preferensi pemilih di lebih dari separuh jumlah provinsi yang mengikuti pemilu.
Dalam Pilpres 2019, kedua syarat tersebut sudah dipenuhi paslon Jokowi-Amin. Bahkan perolehan suara semakin menjauh selisihnya dari capres penantang yang juga lawan petahana  dalam pilpres sebelumnya.
Jokowi-Amin --seperti ringkasan sebelumnya-- mendapat suara 11 persen lebih banyak dari Prabowo-Sandi. Kemudian penguasaan wilayahnya yaitu sebanyak 21 dari 34 provinsi, sudah lebih dari separuh yaitu 17 provinsi.
Hasyim Asy'ari, Komisioner KPU (kompas.com, 7/ 7/ 2020):
" Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tidak berpengaruh terhadap keabsahan penetapan paslon Presiden dan Wapres terpilih hasil Pemilu 2019.
 ...
Dalam UU 7/2017 tidak ditentukan secara tekstual norma tentang Pilpres dalam situasi diikuti hanya oleh 2 paslon tidak perlu putaran kedua, namun tetap berlaku norma sebagaimana terdapat dalam Putusan MK 50/2014 dalam situasi yang sama Pilpres 2019 diikuti hanya 2 paslon tidak perlu putaran kedua."
Komisioner KPU mewakili lembaga sudah menjelaskan bahwa putusan MA tidak membatalkan hasil pilpres karena tidak berlaku surut. Pihak Gerindra sendiri melalui jubirnya Habiburokhman secara diplomatis menyatakan bahwa pihaknya tidak mempersoalkan putusan tersebut.
Akan tetapi bagi kelompok oposan yang belum siap kalah, putusan tersebut semakin memperkuat asumsi bahwa Pemilu 2019 sudah dicurangi. Kemenangan gugatan Rachmawati sangat mungkin menjadi trigger untuk menggelar aksi-aksi lagi demi membidik petahana. Hanya saja pengorganisasian isunya mungkin akan terbelah dengan kasus Denny Siregar yang saat ini juga sedang hangat.
Mungkinkah kasus di atas tidak mewujud aksi tuntutan pemakzulan? Mudah-mudahan demikian adanya, dan kegaduhan netizen di medsos tidak lantas menjadi kenyataan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H