Peraturan penetapan hasil pemilu sudah ditandatangani Ketua KPU Arief Budiman sejak 29 Januari 2019. Artinya, Â ada waktu sekitar 3 bulan menjelang pemungutan suara.
Tidak mungkin partai-partai peserta pemilu tidak mengetahui substansi peraturan KPU. Begitu juga dengan timses pasangan capres. Namun, mengapa Rachmawati baru menggugat 14 Mei 2019 ketika pilpres sudah selesai dan quick count sudah dirilis?
Dalam publikasi hitung cepat secara real time, mayoritas lembaga survei sudah berkesimpulan bahwa Jokowi-Amin keluar sebagai pemenang dan Prabowo-Sandi kalah. Rekapitulasi berdasarkan formulir C1 selesai 21 Mei 2019 dan hasilnya tak jauh beda dengan quick count.
Jelas terlihat bahwa gugatan Rachmawati motivasinya hanya ingin menghambat proses yang sedang berjalan. Seandainya Prabowo-Sandi menang versi quick count apakah gugatan akan tetap dilayangkan?
Kejanggalan lain  yang terlalu kentara adalah  logika parsial  dalam menyikapi hasil pileg dan pilpres.
Pihak penggugat menerima hasil pemilu legislatif (pileg) tetapi menolak hasil pilpres, padahal prosesnya bersamaan. Dalam pileg diketahui Gerindra dan PKS termasuk partai yang meraih peningkatan suara signifikan meski dua sekutunya, PAN dan Demokrat, terkapar.
Pasal-pasal yang dipersoalkan
Gugatan atas Peraturan KPU sebenarnya hanya berkutat di seputar polemik landasan hukum untuk pilpres 2 paslon. Undang-undang yang mengatur persoalan tersebut memang tidak secara eksplisit menyebutkan bagaimana penetapan hasilnya.
Pasal 3 ayat 7 PKPU No. 5/2019 yang digugat berbunyi:
"Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih".Â
 Sementara undang-undang yang dianggap mementahkan PKPU di atas yaitu UU No. 7/ 2017 pasal 416 ayat 1, berbunyi:
"Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".Â
KPU menggunakan logika bahwa untuk pilpres dengan 2 kandidat pemenangnya adalah yang meraih lebih dari separuh suara. Kemudian, pemenang juga berhasil mendominasi preferensi pemilih di lebih dari separuh jumlah provinsi yang mengikuti pemilu.