Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Juni dan Pertarungan Eksistensi Dua Presiden Gemini

9 Juni 2020   06:26 Diperbarui: 10 Juni 2020   13:06 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI yang berisi penyampaian gagasan Pancasila sebagai dasar negara (wartakota.tribunnews.com).

Setiap Juni jangan-jangan akan selalu hangat.

Bagi simpatisan ideologis Sukarno, Juni merupakan bulan penting yang sudah di-tag sebagai Bulan Bung Karno. Tanggal 6 Juni adalah hari kelahiran presiden pertama Indonesia tersebut.

Selain 6 Juni, ada pula 1 Juni sebagai Hari Pancasila yang telah ditetapkan Jokowi melalui Keppres No. 24 Tahun 2016. Penetapannya berdasarkan peristiwa sidang BPUPKI tahun 1945 ketika Sukarno menyampaikan pidato tanpa judul berisi gagasan dasar negara yang akan berdiri, Indonesia. Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, memberikan judul "Lahirnya Pancasila" untuk pidato Sukarno tersebut.

Berbeda dengan Sukarnois, kubu fans Suharto tampaknya sedang dan akan ditakdirkan untuk menjalani Juni sebagai masa-masa perjuangan eksistensial yang berat.

Suharto juga lahir Juni, dua hari setelah tanggal kelahiran Sukarno. Meski sama-sama berada di bawah naungan zodiak Gemini tetapi tampaknya Suharto kalah beruntung dalam sejarah. Posisinya kurang mantap pada bulan kelahirannya sendiri.

Agaknya karena itulah dalam soal memuliakan Pancasila Suharto menghindari Juni sebagai waktu yang tepat untuk memperingati.

Alih-alih 1 Juni, Suharto lebih memilih 1 Oktober 1965 sebagai momentum peringatan. Politiknya jelas, hari yang ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila itu menyediakan ruang sejarah bagi dirinya. Pada tanggal tersebut Suharto dapat leluasa menceritakan narasi bagaimana ia berperan dalam mempertahankan Pancasila dari rongrongan ideologi komunis.

Tema tersebut merupakan topik kegemaran Suharto dan (ternyata) juga para simpatisannya saat ini.

Minggu, 6 Juni 2020, diskusi online yang diselenggarakan PKAD menyoal TAP MPRS tentang pembubaran PKI yang tidak tercantum dalam konsideran RUU Haluan Ideologi Pancasila. Permasalahan tersebut menurut Menkopolhukam Mahfud MD tidak akan berpengaruh pada berlakunya TAP itu sendiri. Menurut Mahfud, MPR sekarang tidak dapat mencabut TAP MPR sejak 2003 dan TAP tahun-tahun sebelumnya, termasuk TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang disoal PKAD.

Tiga hari sebelum diskusi  live streaming di youtube tadi, pada 3 Juni 2020 Tengku Zulkarnaen juga mendadak menggugat Wikipedia. Menurut tokoh yang gencar mengkritik pemerintah Jokowi dan membela Suharto ini, Wikipedia tidak lurus dalam menjelaskan sejarah Indonesia tahun 1965.

Tangkapan layar twit Tengku Zulkarnain (twitter.com/ @ustadtengkuzul).
Tangkapan layar twit Tengku Zulkarnain (twitter.com/ @ustadtengkuzul).
Selain kedua peristiwa tadi, Cendana juga kemudian  turut bersuara.

Bertepatan dengan hari ulang tahun Suharto 8 Juni 2020, lewat akun instagram, Siti Hardijanti Rukmana menulis ulang detik-detik lengsernya presiden kedua tahun 1998. Menurut putri sulung Suharto yang akrab dipanggil Mbak Tutut itu, ayahnya adalah seorang negarawan yang tidak akan meninggalkan gelanggang (baca: tanggung jawab).

Mbak Tutut (detik.com, 08/ 06/ 2020):

"Mendengar jawaban bapak, rasa bangga dan haru, tak dapat dibendung. Bapakku seorang negarawan dan ksatria. Tidak akan "tinggal glanggang colong playu."

Catatan tersebut tampaknya merupakan pengingat bagi Tutut sendiri untuk terus menyampaikan kepada publik berbagai jasa dan peran Suharto. Pascareformasi yang menghentikan kekuasaan orde baru, politik Indonesia relatif kurang bersahabat dan tidak lagi akomodatif menyuarakan kepentingannya.

Golkar sebagai kendaraan politik Suharto dahulu, kini dipegang kubu yang berkoalisi dengan petahanan. Demikian juga usaha-usaha mendirikan partai baru yang selalu gagal. Mulai PKPB (Partai Karya Peduli bangsa), Nasrep (Nasional Republik), Pakar (Partai Karya Republik) hingga yang terakhir Partai Berkarya besutan Tommy Suharto.

Selain Sukarno dan Suharto sebenarnya masih ada Habibie dan Jokowi sebagai presiden yang lahir Juni. Tetapi (lagi-lagi) kedua sosok tersebut  tidak dapat memberikan dukungan eksistensial bagi Suharto selama Juni berjalan pada setiap tahunnya.

Habibie adalah menteri kesayangan Presiden Suharto hingga kemudian diangkat menjadi wakilnya. Tetapi sejak serah terima jabatan kepresidenan tahun 1998, hubungan Suharto dengan Habibie menjadi kurang bagus.

Hubungan yang kurang harmonis  itu berlanjut pada penerus daripada Suharto sendiri. Tutut cenderung bercerita dalam tone yang negatif ketika berbicara perihal Habibie. Salah satu contoh yaitu hilangnya fasilitas pengamanan istimewa gara-gara keputusan mantan menristek tersebut (tribunnews.com, 08/ 06/ 2020).

Habibie (yang sekarang sudah wafat) saja tidak, apalagi Jokowi.

Secara pribadi, Jokowi yang tidak punya tradisi merayakan ulang tahun pasti tidak bermasalah dengan urusan kelahiran orang lain, termasuk Sukarno maupun Suharto. Tetapi keputusannya menetapkan 1 Juni sebagai Hari Pancasila adalah keputusan politik yang secara tidak langsung "merevisi" gagasan Suharto.

Masyarakat Indonesia jadi memperoleh penjelasan tentang proses kelahiran Pancasila secara rutin dengan sosok sentral Sukarno sebagai bintang utama. Dan itu terjadi setiap Juni.

Pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI yang berisi penyampaian gagasan Pancasila sebagai dasar negara (wartakota.tribunnews.com).
Pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI yang berisi penyampaian gagasan Pancasila sebagai dasar negara (wartakota.tribunnews.com).
Pergeseran momentum itu kemudian membuka tabir persoalan politik dinasti Suharto. Masalah  utama bukanlah soal logistik tetapi sesuatu yang lebih substansial. Sekian partai yang didirikan sudah cukup menjelaskan bagaimana kekuatan dana yang tersedia meski harus gagal berulang kali.

Problem paling mendasar terletak pada legacy ideologi daripada Suharto. Pemikiran-pemikirannya mungkin terdokumentasi dengan baik akan tetapi tidak dapat diterjemahkan ke dalam rumusan yang aplikatif dan siap pakai.

Bekal gelar bapak pembangunan yang dimiliki Suharto tidak secara serta merta memberikan ruang tafsir bagi lahirnya ideologi Suhartoisme; betapa pun gigihnya ia berusaha menyatu dengan Pancasila.

Pada masa berkuasanya dahulu, Suharto begitu berusaha menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal, kemudian penataran P4 yang sangat massif di seluruh Indonesia adalah sederet langkah Suharto untuk menguasai ruang tafsir Pancasila. Tetapi hal itu tidak berlaku lagi pada era pascareformasi. Setiap pembicaraan mengenai Pancasila ujung-ujungnya selalu berakhir di sosok Sukarno.

Sandaran politik utama (jika boleh dikatakan demikian) saat ini bagi trah Cendana adalah dengan menumpang Gerindra yang didirikan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto. Lewat Gerindra masih bisa sekadar titip pesan hadir, misalnya tradisi duet foto Prabowo-Titiek dalam kampanye pilpres 2014 dan 2019 lalu.

Fadli Zon dan Suharto (twitter.com/ @fadlizon).
Fadli Zon dan Suharto (twitter.com/ @fadlizon).
Meskipun sekarang Prabowo sudah menjadi menteri Jokowi, tetapi di dalam masih ada Fadli Zon yang merupakan fans berat Suharto. Waketum Gerindra ini selalu akomodatif terhadap kepentingan yang berkaitan dengan idolanya tersebut. Salah satu contohnya adalah gagasan menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional.

Keseruan pertarungan eksistensi antara Sukarno dan Suharto tampaknya  akan menjadi menu baru sajian politik setiap Juni. Meski terus-terusan didera kekurangan personal, Cendana akan terus berjuang menyampaikan narasi Suharto menurut versi sejarahnya sendiri.

Semakin menarik tentunya jika kedua belah pihak beradu fakta dan data. Sekalian memperkaya bahan pembelajaran sejarah republik bagi seluruh warga. Tanpa catatan ilmiah sengketa politik hanya akan berujung hasutan dan fitnah yang berbahaya. Ustad Tengku Zul pasti paham konsekuensinya menurut agama.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun