Bekal gelar bapak pembangunan yang dimiliki Suharto tidak secara serta merta memberikan ruang tafsir bagi lahirnya ideologi Suhartoisme; betapa pun gigihnya ia berusaha menyatu dengan Pancasila.
Pada masa berkuasanya dahulu, Suharto begitu berusaha menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal, kemudian penataran P4 yang sangat massif di seluruh Indonesia adalah sederet langkah Suharto untuk menguasai ruang tafsir Pancasila. Tetapi hal itu tidak berlaku lagi pada era pascareformasi. Setiap pembicaraan mengenai Pancasila ujung-ujungnya selalu berakhir di sosok Sukarno.
Sandaran politik utama (jika boleh dikatakan demikian) saat ini bagi trah Cendana adalah dengan menumpang Gerindra yang didirikan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto. Lewat Gerindra masih bisa sekadar titip pesan hadir, misalnya tradisi duet foto Prabowo-Titiek dalam kampanye pilpres 2014 dan 2019 lalu.
Keseruan pertarungan eksistensi antara Sukarno dan Suharto tampaknya  akan menjadi menu baru sajian politik setiap Juni. Meski terus-terusan didera kekurangan personal, Cendana akan terus berjuang menyampaikan narasi Suharto menurut versi sejarahnya sendiri.
Semakin menarik tentunya jika kedua belah pihak beradu fakta dan data. Sekalian memperkaya bahan pembelajaran sejarah republik bagi seluruh warga. Tanpa catatan ilmiah sengketa politik hanya akan berujung hasutan dan fitnah yang berbahaya. Ustad Tengku Zul pasti paham konsekuensinya menurut agama.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H