Perantau dari luar Jawa relatif tahan hidup mengembara tanpa pulang kampung bertahun-tahun. Mereka bisa tahan menahan rindu selama 5 tahun atau bahkan lebih.
Berbeda dengan orang di Jawa dan Madura.
Rata-rata minimal penduduk Jawa-Madura mudik ke rumah setidaknya 1 hingga 2 kali dalam setahun. Yang muslim saat merayakan lebaran Iedul Fitri; kemudian ikut-ikutan mudik lagi saat libur panjang Nataru. Natal dan tahun baru. Sementara umat Nasrani kebalikannya. Demikian sejauh pengamatan penulis selama ini.
Dulu harus rela berjuang berjam-jam di perjalanan untuk menempuh jarak yang tidak terlalu jauh; sekarang sudah jauh berkurang. Masifnya pembangunan jalan tol dari ujung ke ujung membuat penduduk Jawa-Madura semakin nyaman menempuh perjalanan pulang.
Tetapi tahun 2020 beda.
Penduduk Jawa-Madura harus mau mengadopsi kebiasaan warga seberang berpuasa mudik tahun ini. Sesuatu yang ringan bagi orang Sumatera, namun sangat berat bagi orang Jawa. Harus tahan dan mesti dilakukan, untuk kebaikan bersama.
Pandemi COVID-19 berhasil mengobrak-abrik semua tatanan kehidupan, termasuk ritual sosial yang sudah berlangsung lama.
Jangankan mudik, ibadah yang wajib seperti sholat Jumat saja difatwakan untuk tidak dilaksanakan di daerah yang termasuk zona rawan Corona. Juga ibadah seperti umrah dan pengajian yang menghadirkan massa. Dibatasi agar tidak menjadi media penyebaran virus penyebab COVID-19.
Ritual mudik membahayakan keselamatan populasi warga senior di pelosok desa.
Jamak dalam kehidupan sosial di Indonesia. Begitu lulus sekolah, golongan muda merantau ke kota. Sementara orang tua tinggal di daerah, mengurus sawah atau menikmati masa pensiun.
Dengan merebaknya wabah Corona di kota besar seperti kawasan Jabodetabek dan Surabaya, maka aliran warga yang pulang kampung berpotensi mempercepat penyebaran.