Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Belum Perlu Lockdown untuk Hadapi Corona, Ini Alasannya!

16 Maret 2020   23:19 Diperbarui: 17 Maret 2020   08:31 5934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panic buying di Inggris gara-gara wabah Corona (dailymail.co.uk).

Membela opsi lockdown atau tidak untuk membatasi penularan Corona harus proporsional. Tidak perlu sampai menjadi perdebatan ideologis.

Sudah dikemukakan beragam alasan dari kedua pihak yang pro dan kontra. Sambil menyertakan contoh di negara lain, dengan ancaman azabnya masing-masing jika tidak dikerjakan.

Sekadar mencoba menata ulang, apa sih yang sedang kita hadapi ini?

Ada beberapa kesimpulan yang bisa kita baca dari data dan angka, perkembangan hari ke hari kasus ini dari berbagai belahan dunia. Salah satunya dari worldometer.

Pertama, berkaitan dengan soal jumlah kasus, korban, tingkat kematian, dan perbandingannya dengan jumlah populasi.

Jika membandingkan ratio confirmed case dengan jumlah penduduk (total cases/ 1 million population) maka kita menemukan angka-angka perbandingan yang cukup mengejutkan.

China memang terbanyak kasusnya, juga korban meninggal. Ada 80.000 kasus, dengan 3.200 kematian. Tetapi, berdasarkan ratio total kasus per juta penduduk ternyata bukan China yang juara, tapi justru Italia.

Angkanya sangat fantastis: 409,3! Artinya per 1 juta penduduk Italia saat ini, yang terkonfirmasi positif Corona ada hampir 410 kasus. Apakah China runner up? Juga bukan, yang kedua adalah Switzerland, Swiss: 256,6.

Berikut 10 besarnya, dikutip dari worldometer hari ini:

  • Italia: 409,3
  • Swiss: 256,6
  • Norwegia: 238,9
  • Spanyol: 196,6
  • Iran: 178,5
  • Korea Selatan: 160,6
  • Denmark: 155,0
  • Estonia: 154,5
  • Qatar: 139,2
  • Bahrain: 129,9.

Tidak ada China.

Populasi adalah bagian dari persoalan

Memang penting membandingkan ukuran populasi? Jelas perlu. Masalah populasi menyangkut banyak hal; menyangkut asas proporsional. Terkait soal logistik misalnya. Tiap hari kita perlu logistik agar bisa bertahan sampai lusa.

Dalam bidang ekonomi, pendapatan, jumlah angkatan bersenjata, anggaran pendidikan dan lain-lainnya, ukuran populasi itu penting. Populasi itu does matter.

Jangan sampai kita selamat dari Corona tapi kemudian jadi korban akibat faktor lain. Di Iran 44 orang tewas karena mengkonsumsi alkohol yang dianggap obat! Contoh kematian yang tidak perlu.

Guyonnya begini. Malaikat maut dapat "jatah" 1000 dari Corona, tapi dia "ngambil" 10.000. Waktu diprotes kok korbannya banyak banget? Dia jawab, aku ngambil memang 1000, yang lainnya mati karena panik!

Lalu, berapa ranking China dalam klasemen Corona saat ini?

Negara pionir COVID-19 ini terjepit posisinya di antara Jerman dan Finlandia. Tepatnya, China: 56,2; sedangkan Jerman: 74,6; dan Finlandia: 50,2.

Nah! Selama kita berdebat (di medsos) ada ngga yang menyoroti Finlandia?

Sejauh saya mengikuti pertengkaran para fighter adu mulut di dunia maya kayaknya gak pernah ada. Asumsi kita negeri itu baik-baik saja dengan kemakmuran yang bikin ngiler warga +62.

Selain episentrum di Wuhan, yang kita ikuti beritanya paling negara-negara ini: Korea, Jepang, Singapura, Iran, dan Italia.

Panic buying di Inggris gara-gara wabah Corona (dailymail.co.uk).
Panic buying di Inggris gara-gara wabah Corona (dailymail.co.uk).
Kita juga mampu

Walaupun kasus yang terjadi luar biasa banyak; China mampu menunjukkan keyakinan diri tidak hanya pada dunia tetapi juga pada rakyatnya sendiri.

China memang luar biasa penderitaannya ketika bertempur menghadapi wabah coronavirus, nyaris sendirian karena negara-negara lain enggan terlibat.

Ratusan juta penduduk yang terdampak tidak boleh beranjak jauh dari rumah. Lockdown  di episentrum wabah, Wuhan, dan kota-kota di sekitarnya di Provinsi Hubei.

Akan tetapi dilihat dari ukuran populasi, jumlah penduduk China juga super jumbo, nyaris 1,5 miliar; berselisih sedikit dengan India di angka hampir 1,4 miliar.

Indonesia ada tiga strip di bawah China, dengan jumlah 273 juta penduduk. 

Jadi teringat negeri sendiri, berapakah total case Corona per million-nya? Bukan soal senang atau tidak, tapi harus disampaikan di sini ternyata negara kita mencatat angka "cuma" 0,5.

Betul, cuma sepotong orang per 1 juta penduduk. Atau supaya mudah, saat ini di Indonesia ada 1 orang terinfeksi virus SARS CoV-2 di antara 2.000.000 penduduk.

Bandingkan dengan Italia tadi: 409,3. Atau Belanda, yang kemarin mengembalikan keris Eyang Diponegoro: 82,5.

Indonesia kan katrok, test-nya aja gak bisa!

Siapa bilang begitu. Janganlah terlalu meremehkan tim medis sendiri yang banyak lulusan dari LN, dan juga selalu update perkembangan teknologi medis dan farmasi. Indonesia tentu ikuti standar WHO soal kesehatan, tidak mungkin merujuk IMF.

Tak perlu minder dengan Singapura, atau Australia. Apalagi Amerika. Apa tidak ada blunder di pemerintahan Trump soal Corona? Silakan cek berita internasional. 

Jangan rendah diri, tapi jangan pula ngawur. Prinsip-prinsip ilmiah harus diterapkan.

Menambal kebocoran

Saat ini permasalahan sudah jelas, kita sudah kena wabah ini. Indonesia real saat ini perlu banyak test kit untuk memburu pembawa virus yang belum terdeteksi. Harus diisolasi supaya tidak jadi super spreader Corona.

Rencana Kemenkes untuk menyediakan 10.000 test kit harus dibantu  antara lain oleh para konglomerat dan artis youtuber. Jangan cuma sekadar pamer. Jenuh!

Mestinya kita dukung apa yang baik dan sedang dikerjakan pemerintah sambil mengkritisi apa yang kurang.

Tetapi tidak usah dikait-kaitkan (terlalu banyak) dengan Pilpres 2024, masih jauh. Apalagi mengungkit-ungkit #gantipresiden. Jadi aneh kedengarannya. Sedikit aja politiknya, buat seru-seruan. Tak perlu sambil mencaci maki menyebut nama hewan atau perang ayat lagi.

Persoalan Corona adalah dia itu sesuatu yang baru, misterius, tak dikenali, tetapi mampu membunuh.

DBD, demam berdarah dengue, juga disebabkan virus (dengue); tapi ratusan korban yang meninggal tidak ada yang memperdebatkan. Kita juga tak takut mengobrol dengan pasien demam tersebut di RS. Kita sudah akrab DBD. Friend.

Yang lain yang membuat Corona itu spesial adalah kemampuan menular dengan mode senyap, seperti kerja pasukan khusus.

Tahu-tahu diumumkan jubir Corona Achmad Yurianto di televisi. "Inilah kasus Corona nomor ...!" Mirip undian berhadiah, dan kita antusias menunggu berita berikutnya tiap hari.

Kerja virus ini sebagian memang mirip siluman, tanpa gejala apa pun. Asimptomatik.

Dari mana kita tahu seseorang kena virus kalau tubuhnya segar bugar. Thermal scanner saja pasti gagal paham soal ini, dia ngertinya cuma temperatur doang.

Kemudian yang perlu kita paham juga tentang korban Corona adalah, seberapa mungkin seseorang bisa meninggal setelah terinfeksi.

Catatan data worldometer menunjukkan bahwa lansia lebih rawan. Usia 80+ angkanya hampir 15%, sedangkan usia 70-79 sebesar 8%.  Di bawah usia tersebut angkanya sangat kecil.

Jadi, sebaiknya pemerintah harus lebih aware dengan populasi orang tua di daerah terdampak, agar tidak terinfeksi. Misalnya di wilayah Jabodetabek, seberapa pedulikah pemerintah melindungi mereka dari paparan virus ini?

Di luar masalah usia, faktor penyakit bawaan juga ikut menyumbang angka kematian cukup besar.

Kesimpulan Kemenkes dari 5 kematian yang terjadi di Indonesia terkait Corona: tak satu pun secara utuh 100% penyebabnya adalah dia. Mesti ada sebab lain, bukan faktor tunggal (detik.com, 15/3/2020).

Titik kelemahan kita juga adalah pengawasan perbatasan seperti bandara dan pelabuhan. Kasus-kasus infeksi yang muncul cukup banyak yang termasuk kategori imported case. Perlu lebih ketat, terutama dari negara terjangkit, yang sudah mengalami fase transmisi lokal.

Bagaimana dengan dokter atau perawat yang sakit terinfeksi?

Inilah yang menjadi keprihatinan kita.ebagai garda terdepan yang langsung berhadap-hadapan dengan virus tersebut, mereka itu berkorban luar biasa. Pemerintah perlu memikirkan siklus kerja tenaga medis agar tidak terlalu overtime sehingga malah memperburuk imunitas. Keselamatan mereka perlu mendapat perhatian.

China sudah punya cukup pengalaman yang bisa kita tiru agar pengelolaan jam kerja tim medis bisa manusiawi. Barangkali ada di buku panduan mereka yang sudah kita terima tempo hari. Coba cek daftar isi, ada di halaman berapa.

Demikian beberapa catatan data soal Corona. Meski lebih setuju pembatasan ketat, saya tidak alergi juga dengan lockdown. Monggo, asal jangan blunder lagi. Repot.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun