"Wuhan jiayou...!"
Teriakan itu bersahut-sahutan di langit kota Wuhan. Kita terharu karena di balik kalimat yang berarti "Semangat Wuhan!" itu tercium aroma kecemasan dan ketakutan.
Mereka sedang saling menguatkan hati satu sama lain, setelah terpenjara di rumah masing-masing akibat wabah virus corona. Entah sampai kapan blokade kota dibuka, belum ada kepastian. Cadangan makanan semakin menipis.
Warga Wuhan, China, tertekan tidak hanya oleh wabah virus itu sendiri. Ketatnya pengawasan pemerintah menutup jalur keluar masuk kota menghalangi kebebasan yang sehari-hari sebelumnya mereka nikmati seperti udara. Kini seolah mereka sedang tercekik.
Total saat ini lebih dari 8.137 penderita sudah positif terinfeksi, tercatat 171 korban tidak terselamatkan gara-gara virus corona. Tersebar di belasan kota di China, dan di belasan negara; tetapi lebih dari  90% korban terkonsentrasi di Wuhan.
Pemerintah China menayangkan siaran langsung pembangunan rumah sakit yang secara ajaib bisa selesai dalam 2 hari. Kapasitasnya mampu menampung ribuan pasien, khusus korban corona.
Dunia terpana menyaksikan kedigdayaan kemampuan infrastruktur China. Jutaan orang yang menonton siaran live show tersebut berdecak kagum. Tetapi sejatinya kita tidak tahu, apa yang disembunyikan China. Berapa sesungguhnya korban yang jatuh di Wuhan kita tidak tahu.
Dalam keadaan normal saja China cukup ketat mengontrol media, apalagi dalam kondisi darurat seperti saat ini. Siaran langsung pembangunan rumah sakit adalah show of force pemerintah untuk menunjukkan bahwa mereka sanggup mengatasi corona.
Seberapa sanggup manusia menghadapi makhluk misterius bernama virus?
Hingga saat ini dunia medis belum cukup percaya diri untuk jumawa di hadapan sosok yang lebih kecil dari bakteri ini. WHO yang sebelumnya menganggap wabah coronavirus sebatas epidemi region China kini sudah menetapkan status gawat darurat global (cnn.com, 31/1/2020).