Pelajaran dari Jakarta
Banyak hipotesa dapat dikemukakan dari kasus pergantian gubernur di Jakarta yang tidak disertai proses transformasi gagasan dan orientasi kebijakan.
Pemicunya bisa punya banyak sebab; apakah karena masalah perbedaan kompetensi; miskomunikasi politik pascapemilu; ataukah karena adanya manuver salah satu atau kedua-dua pihak.
Anies Baswedan --yang sendirian tanpa wagub-- mungkin salah pilih pejabat pembantu sehingga kekurangan-kekurangan manajerial yang ada pada dirinya tidak terkompensasi dengan baik.
Mungkin juga Gubernur Anies ternyata memang sukses namun Departemen Humas DKI tidak mampu menjelaskan sejauh mana capaian-capaian Anies sudah diraih. Sementara, asumsi bahwa Anies kurang disukai media atau bahkan dikucilkan rasanya tidak punya dasar pijakan.
Dalam dua kasus yang melibatkan perang netizen vs. media mainstream terbukti; pro Jokowi yang pernah bersengketa dengan media ternyata tidak berpengaruh banyak pada relasi antara media dengan Jokowi sendiri.
Kasus Tempo muncul ketika grup media terkemuka tersebut mengangkat tema buzzer istana dan kemudian diikuti media besar lain (tempo.co, 28/9/2019). Pro Jokowi membalas Tempo dengan gerakan down grade 1 bintang hingga uninstall aplikasi Tempo di Google Playstore.
Begitu juga ketika kompas.com berseteru dengan akun @kurawa (pro Jokowi) yang mengangkat tuduhan serius adanya suap dalam kasus gubernur rasa presiden (tempo.co, 20/1/2020). Beruntung kompas.com (tampaknya) memilih menahan diri; perang netizen vs. media mainstream jilid II akhirnya urung terjadi.
Penyebab lain yang mungkin menjadi kambing hitam buruknya serah terima tongkat estafet kepemimpinan di Jakarta adalah persoalan politik. Masalah yang agaknya terasa ada sangkut pautnya dengan kurang harmonisnya DKI dengan istana.
Sisa-sisa polarisasi kedua kubu --pro Ahok vs. pro Anies dan pro Jokowi vs. pro Prabowo-- mungkin (justru) masih kental di tingkat elit sehingga komunikasi yang lancar belum terwujud.