Pemberantasan korupsi saat ini sedang memasuki babak baru.
Tak lama setelah pemerintahan periode kedua Jokowi, perburuan sejumlah kasus korupsi kelas kakap segera dimulai, Jiwasraya dan Asabri.Â
Skandal keuangan asuransi Jiwasraya diduga bernilai Rp 13,7 triliun sedangkan kasus Asabri potensi kerugiannya Rp 16 triliun.Â
Di luar kedua kasus di atas, publik juga dibuat kaget dengan kasus investasi bodong MeMiles yang nilainya Rp 750 miliar. MeMiles cukup menarik perhatian karena melibatkan 3 nama keluarga Cendana, juga sejumlah selebritis tanah air. Dahulu kita tidak pernah mendengar hal-hal buruk semacam itu, terutama yang menyangkut BUMN Jiwasraya dan Asabri.Â
Kasus baru terungkap, yang lama juga terus dikejar tanpa ampun. Kemenkeu baru saja merampas uang negara dari Tommy Soeharto sebesar Rp 1,2 triliun rupiah yang terkait dengan kasus proyek mobil nasional (kompas.com, 13/01/2020).
Jiwasraya-Asabri akan menyeret pejabat lama terkait
Dilihat dari nominal uang negara puluhan triliun yang sedang diuber, tidak menutup kemungkinan sejumlah elit pejabat penting akan ikut terseret; baik itu dari sipil maupun militer.
Karena kronologis waktunya juga dimulai sejak lama, otomatis beberapa nama birokrat pemerintah lama akan kena getah. Minimal dimintai keterangan.
Mengutip sejumlah media, Jiwasraya terindikasi mencetak laba semu sejak 2006, era SBY. Tetapi mengapa mantan menteri BUMN Rini Soemarno sampai gagal melakukan pencegahan juga menjadi sebuah pertanyaan.
Kentalnya nuansa politik dalam megaskandal Jiwasraya-Asabri mulai terlihat dari pertemuan yang diadakan Presiden Jokowi dengan pimpinan partai koalisi pendukungnya, termasuk Gerindra, 14/01.2020. Jokowi tampaknya memerlukan dukungan moril sehingga pertemuan pimpinan koalisi sampai perlu diagendakan secara khusus.
Ketegangan semakin meningkat ketika muncul pula polemik antara pansus vs. panja untuk mengusut kasus megakorupsi tersebut. Partai Demokrat menginginkan pembentukan pansus, panitia khusus; sedangkan PDIP berpendapat cukup membentuk panja saja, panitia kerja.
Anomali kemunculan kerajaan tanpa akar sejarah
Seiring dengan aksi nyata pembenahan dan pengelolaan keuangan negara, akhir-akhir ini publik dikejutkan sejumlah isu yang tidak masuk akal.
Di Purworejo, Jawa Tengah berdiri Keraton Agung Sejagat yang dibangun dan diperintah pasangan Toto dan Fanni. Meski terkesan menggelikan, sejumlah warga sempat tertipu mentah-mentah. Mereka yang terjerumus jadi pengikut sampai rela berutang untuk membeli seragam kerajaan Rp 2 juta.
Kemudian, ada pula sekelompok orang yang menggagas Sunda Empire di Jawa Barat. Pimpinannya konon memiliki kemampuan menyelesaikan konflik nuklir dunia.
Kalau masalah nuklir saja bisa beres, alangkah baiknya jika mereka bergerak nyata mengentaskan kemiskinan akut di beberapa daerah di Jawa Barat.
Belum cukup dua; ada kabar unik lain  yang tak kalah menggelitik.
Ternyata selama ini, sejak 2004, ada kesultanan di Tasikmalaya yang mendapat pengakuan PBB, Perserikatan Bangsa-bangsa, tahun 2018.
Namanya Kesultanan Selaco (dari kata Selacau; cau = pisang, bahasa Sunda) yang pimpinannya mengklaim punya darah biru Padjajaran. Selain memiliki aset tanah dan bangunan, Kesultanan Selaco juga punya kabinet dan angkatan kepolisian. Wilayah "kekuasaannya" mencakup Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, dan Pangandaran.
Kesultanan Selaco bisa terselenggara karena mendapatkan sumber dana atau harta simpanan yang selama ini tersimpan di bank Swiss.
Dari Jawa Timur sejauh ini belum ada kabar muncul kerajaan baru. Tetapi di sana katanya ada pohon yang bisa menangis. Emak-emak berduyun berdesakan menguping ke batang pohon, ingin tahu seperti apa bunyinya.Â
Pertanyaannya, siapa yang mengendalikan isu-isu tersebut?
BIN, Badan Intelijen Negara, mengatakan bahwa untuk keberadaan Kerajaan Agung Sejagat dan Sunda Empire sudah terdeteksi sejak lama (kompas.com, 18/01/2020). Begitu juga dengan Kesultanan Selaco tentunya yang bahkan sudah terdaftar di Kemenkum HAM dan juga diketahui Kesbangpol Pemda Tasik.
Sangat disayangkan mengapa harus menunggu sampai jatuh korban, para pengikut yang tertipu.
Para "abdi dalem" Keraton Agung Sejagat diketahui harus menyetor sejumlah uang jutaan rupiah agar bisa pansos, panjat sosial, menjadi bagian dari kerajaan, dekat dengan ratu dan raja. Mereka berasal dari beragam profesi; Â antara lain buruh tani dan sales asuransi.
Sebelum jadi masalah besar, pemerintah setempat seharusnya kritis, karena jelas tidak sinkron antara eksistensi pemerintahan kerajaan-kerajaan itu dengan penyelenggaraan pemerintahan yang sah. Apakah statusnya daerah istimewa? Ormas? Ataukah entitas kebudayaan?
Jelas janggal sekali kemunculan isu-isu yang menggegerkan publik tersebut. Timing-nya terlalu berdekatan sehingga jelas terlihat sebagai sebuah peristiwa outliers. Terlalu banyak contoh rentetan kejadian tak lazim di republik ini yang sepertinya begitu telanjang. Â
Apakah masih mungkin hal itu terjadi sebagai produk sosial yang alami, ataukah memang ada pawang yang mengendalikannya.
Apapun itu harus diselesaikan.
Yang terpenting juga, masalah-masalah terkait pemberantasan megakorupsi saat ini harus kita kawal.
Bersyukur hingga saat ini belum terjadi konflik horizontal yang diakibatkan oleh munculnya gagasan-gagasan halusinatif yang tidak ilmiah tersebut. Mudah-mudahan sekadar intermezzo saja, agar saraf tidak tegang.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H