Apapun makanannya minumnya pasti air. Masak minum rokok.
Begitulah logika yang sudah tertanam dalam benak, bekerja otomatis tanpa harus berpikir lagi. Hal-hal sederhana seperti itu sudah dipahami dan menjadi keahlian para marketer, praktisi pemasaran yang siang malam bergelut target penjualan.
Saking eratnya pergelutan mereka dengan urusan jual beli, pelaku pemasaran hapal betul cara berpikir, berperilaku, emosi, serta cara berkhayal para konsumennya.Â
Misalnya konsumen umat Islam. Â Seorang muslim paling fasik sekalipun khayalannya pasti ingin masuk surga tanpa hisab.
Tetapi mimpi saja pasti tidak cukup. Impian harus dibarengi ikhtiar nyata, kerja keras dan berpikir waras. Syarat-syarat tambahan itulah yang saat ini banyak diabaikan oleh umat Islam, baik individu maupun kolektif.
Hari-hari ini kita --entah sudah berapa kali-- mendengar berita konsumen (umat Islam) tertipu oleh bisnis berkedok tampilan syariah; Â baik dari segi pilihan kata, desain display, maupun gaya para pelakunya.Â
Asal sering-sering menyebut istilah Arab, memakai gamis atau berkerudung, berjenggot, pasti asumsinya otomatis syariah.
Omsetnya yang menjadi kerugian jamaah bernilai fantastik. Perputaran uang yang dikelola biro Abu Tours mencapai Rp 1,8 triliun.
Tidak hanya urusan perjalanan suci, bisnis-bisnis lain terkontaminasi juga penipuan berbasis iming-iming syariah.
Di Sidoarjo 06 Januari kemarin, polisi membongkar kedok P.T. Cahaya Mentari Pratama yang menjual perumahan fiktif bernama Multazam Islamic Residence.Â
Kurang syar'i gimana coba? Ada multazamnya dan ada islamic-nya pula. Yang masih tidak percaya pasti pelaku riba!
Desember tahun lalu, penipuan perumahan syariah fiktif terjadi juga di Lebak.Â
PT Wepro Citra Sentosa menjanjikan rumah Islami berlabel Perumahan Amanah City. Pengembang menjanjikan beberapa  fasilitas yang membawa nama Muhammadiyah yang ternyata hanya gimmick saja (tempo.co, 16/12/2019).Â
Betapa luar biasanya Indonesia, penipu sekalipun di sini bisa berbuat "amanah".
Memang kurma cuma tumbuh-tumbuhan seperti nangka, durian, atau kesemek. Tetapi karena kurma banyak terdapat di jazirah Arab pastilah ada unsur-unsur Islaminya, setidaknya dalam tataran imajinasi. Yang jelas pengelola kavling fiktif tersebut pasti tidak akan mampu menjelaskan bagaimana perkebunan kurma yang dijanjikan bisa seproduktif di habitat aslinya.
Tipu-tipu pelaku memang luar biasa cerdik dan sistematisnya.
Kampoeng Kurma menjual nama Syekh Ali Jaber dan Ustadz Arifin Ilham (alm.) serta memanfaatkan aksi gelombang massa 212 dan 411. Dari unsur pemerintah juga ada, Hj. Iti Ocatavia Jayabaya, Bupati Lebak, ikut dicatut (detik.com, 11/11/2019).
Kecenderungan memanfaatkan tampilan Islami sebagai sarana pengelabuan itu pernah ditulis secara satir oleh Budiman Hakim.Â
Vicky, sorang peminum bir merangkap jamaah dugem dalam cerita Budiman tiba-tiba hijrah menjadi "alim" dalam hitungan detik. Selidik punya selidik ternyata yang bersangkutan sedang memulai bisnis travel umroh. Â
Kalau agen travel umroh dan haji sudah pasti penampilan harus syariah. Tetapi jual rumah, jual kebun, arisan, jualan herbal, masak harus bawa-bawa syariah segala?
"Suka-suka gue dong, mau syariah kek mau syari... kek; barang-barang gue kenapa lu sewot?"
Memang sulit memilah dan menerka mana yang masuk niat para penjahat. Apalagi penjahat cerdas.
Indonesia itu negara dengan jumlah umat Islam terbesar sejagat raya. Populasinya ratusan juta, yang berarti pasar potensial ditinjau dari ilmu pemasaran.
Dengan modal sedikit trik marketing yang mudah siapapun dapat mengeruk keuntungan dengan memainkan emosi konsumen sehingga logikanya gagal berfungsi.
Begitu otak tampak mulai waras, tak usah panik; langsung intimidasi dengan ancaman riba. Begitu nalar terlihat sadar, langsung persekusi dengan azab neraka. Pasti berhasil.
Entah sampai kapan umat Islam dikadali buaya berjubah citra syariah. Departemen Agama dan ormas-ormas Islam terbesar sekalipun tampaknya sudah tidak berdaya.
Yang dapat kita lakukan hanya berdoa mohon hidayah dan melatih akal agar kebal terhadap intimidasi dan persekusi para penipu.Â
Anda-anda juga yang masuk kategori selebritis, selebgram, tokoh agama, pimpinan ormas, kepala daerah, punya tanggung jawab agar tidak mencelakai para follower di belakangmu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H