Kalau dipikir-pikir provokasi puluhan kapal nelayan dan 3 kapal coast guard China di laut Natuna memang keterlaluan.
Sudah jelas sikap Indonesia tahun 2016 lalu ketika mereka coba uji nyali, Jokowi langsung pasang kuda-kuda di atas  geladak kapal perang KRI Imam Bonjol, tepat di Natuna.
Setelah itu, berkat tangan dingin Susi Pudjiastuti, ratusan kapal nelayan asing pelaku illegal fishing juga sudah dibenamkan ke dasar lautan. Dan toh ternyata China gak paham-paham juga.
Dengan menggeser Susi diganti Edhy Prabowo jangan-jangan justru Jokowi yang sedang mengetes China. Bukan sebaliknya, seperti asumsi pengamat yang berpikir China sedang menjajaki menteri baru; Menhan Prabowo dan pengganti Susi itu.
Hanya berselang sekian hari ba'da Susi pulang kampung ke Pangandaran, Natuna digeruduk nelayan asing termasuk kapal pemerintah China itu.
Pengakuan nelayan asal Kabupaten Natuna, mereka merasa terintimidasi karena kalah bobot dengan kapal asing yang bisa mencapai 30 GT (gross ton) sementara kapal mereka jauh lebih kecil. Nelayan lokal juga ngeri berhadapan dengan kapal coast guard yang tidak segan mengusir mereka untuk pergi menjauh (kompas.com, 31/12/2019).
Tambah nyata ketidakacuhan otoritas negeri tirai bambu tersebut ketika kapal pemerintah mereka menyalakan Automatic Identification System (AIS) saat berada di wilayah ZEE Indonesia. Seolah suatu bentuk pernyataan terbuka, pengakuan bahwa secara de facto mereka beroperasi di wilayah legal.
Boleh-boleh saja Menlu China bermain-main dengan kata sovereignty dan sovereign rights. Tetapi substansinya toh tetap sama, masuk ZEE dan menguras kekayaan hak kita di sana adalah sebuah pelanggaran. Pemerintah China bersikap kurang ajar meski sudah diperingatkan berkali-kali.
Mungkin dengan gelontoran investasinya rezim Xi Jinping berpikir Indonesia bisa diatur-atur seperti negara sebelah. Keliru besar!
Maka, respon Jokowi dengan mengirim 5 kapal perang untuk menghadapi 3 coast guard China adalah tindakan yang tepat di samping basa-basi diplomasi standar sebagai sebuah negara yang beradab.
Dan ternyata, menurut kompasianer Prayitno Ramelan, wewenang komando pengendalian operasional pasukan berada di tangan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto; yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Pergerakan pasukan bukan berada di tangan Menhan atau Kepala Staf Angkatan.
Indonesia mengimbangi tindakan sepihak China