Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Krisis Iran dan Laut Cina Selatan Tidak Akan Memicu Perang Dunia III

6 Januari 2020   05:49 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:54 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar video yang memperlihatkan proses pengibaran bendera merah simbol pembalasan terkait dengan kematian Komandan Garda Revolusi Iran Al Quds, Qassem Sulaimani (twitter/ @SiffatZahra).

Awal tahun baru 2020 diawali dengan ketegangan politik global yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi krisis serius. 

Tanggal 3 Januari, serangan udara Amerika Serikat dekat sebuah bandara di Irak membunuh Jenderal Iran Qassem Sulaimani (kompas.com, 04/01/2020). Terbunuhnya Komandan Pasukan Garda Revolusi Iran Al Quds tersebut langsung menimbulkan reaksi keras dari sekutu-sekutu Iran. Sejumlah serangan roket menyasar pangkalan dan kompleks Kedutaan AS di Irak.

Kematian Qassem di negaranya tidak ditandai dengan pengibaran bendera setengah tiang. Yang terjadi justru pengibaran bendera merah satu tiang penuh di Masjid Jamkaran, Qom. Dalam tradisi Syi'ah, pengibaran bendera tersebut merupakan simbol pembalasan dendam berdarah (tempo.co, 05/01/2020).

AS dan sekutunya negara-negara NATO tentu bersiap menghadapi serangan balasan Iran yang merasa tercoreng martabatnya. Tak ayal, konflik Timur Tengah akan semakin panjang setelah sempat mereda dengan kematian Pimpinan ISIS, Al Baghdadi, yang juga dibunuh pasukan khusus AS.

Foto satelit yang memperlihatkan USS Ronald Reagen tengah dikelilingi beberapa kapal Cina. Foto tersebut dipublikasikan di twitter oleh akun @DuanDang yang menurutnya berdasarkan citra yang diambil oleh satelit Sentinel-2 (twitter.com/ @DuanDang).
Foto satelit yang memperlihatkan USS Ronald Reagen tengah dikelilingi beberapa kapal Cina. Foto tersebut dipublikasikan di twitter oleh akun @DuanDang yang menurutnya berdasarkan citra yang diambil oleh satelit Sentinel-2 (twitter.com/ @DuanDang).
Selain di Timur Tengah, Amerika Serikat juga tengah bersengketa dengan Tiongkok di Laut Cina Selatan.

Sebelum provokasi kapal nelayan dan coast guard Cina yang memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna, Amerika Serikat berkali-kali memprovokasi Cina dengan melakukan pelayaran dekat wilayah sengketa.

Dikutip dari jakartagreater.com (30/09/2019) sebuah foto satelit yang dipublikasikan lewat twitter memperlihatkan kapal induk Amerika USS Ronald Reagen sedang dikepung kapal-kapal perang Cina. Mirip dengan insiden dikepungnya kapal coast guard Cina oleh kapal-kapal perang Indonesia yang terjadi pada saat ini.

Tanggal 20-21 November 2019 AL Amerika juga berlayar dekat Kepulauan Paracel dan Karang Mischief. Kapal perang Amerika melakukan hal itu sebagai bentuk dukungan terhadap 'kebebasan navigasi' yang secara otomatis membatalkan klaim Cina atas kawasan tersebut.

Secara sepihak, pemerintahan Xi Jinping lewat konsep Nine-Dash Line atau 9 garis putus-putus semakin kukuh mendaku Laut Cina Selatan, termasuk sebagian Natuna, sebagai wilayah miliknya.

Klaim tersebut sudah ditolak pengadilan Den Haag tahun 2016 lalu dan tidak diakui menurut  konvensi PBB UNCLOS 1982. Namun demikian Cina tetap bergeming.

Peta Laut Cina Selatan yang memperlihatkan klaim Cina atas wilayah tersebut yang bersinggungan dengan negara-negara ASEAN (forbes.com).
Peta Laut Cina Selatan yang memperlihatkan klaim Cina atas wilayah tersebut yang bersinggungan dengan negara-negara ASEAN (forbes.com).
Konsep the nine-dash line yang ekspansif menyebabkan benturan dengan sejumlah negara ASEAN. Selain Indonesia, Cina juga terlibat bentrokan di wilayah krisis dengan Vietnam dan Filipina.

Kontak fisik kapal Cina dengan kapal Vietnam tahun 2014 menimbulkan protes keras di Hanoi yang berakibat jatuhnya 20 korban jiwa akibat kerusuhan. Peristiwa tersebut berawal dari aktivitas pengeboran minyak yang dilakukan Cina di lepas pantai yang berdekatan dengan wilayah Vietnam  (detik.com, 15/05/2014).

Filipina juga bereaksi keras menolak kehadiran kapal-kapal nelayan dan coast guard Cina. Presiden Rodrigo Duterte sempat mengancam akan mengirim pasukan ke pulau sengketa jika kapal-kapal tersebut tidak segera enyah dari wilayahnya. Pulau Thitu atau Pagasa dan perairan di sekitarnya menurut Filipina adalah wilayah miliknya yang kerap disambangi nelayan Cina (tirto.id, 12/04/2019).

Menghadapi Vietnam dan Filipina, Cina menuduh mereka sengaja memanfaatkan dukungan Amerika Serikat dan berakibat meningkatkannya ketegangan di zona yang diduga kaya sumber daya alam tersebut. Tetapi ironisnya, Cina sendiri tampak enggan mematuhi Code of Conduct/ CoC yang tengah dalam penjajakan bersama dengan negara-negara ASEAN.

Ancaman perang dunia III

Menghangatnya suhu politik global di Iran dan Laut Cina Selatan belakangan ini menimbulkan kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya Perang Dunia III. Tagar #worldwar3 sempat pula trending di media sosial.

Namun secara historis, tampaknya ancaman perang dunia tampaknya masih jauh dari kenyataan.

Iran meskipun merupakan negara Islam tidak akan serta merta mendapatkan dukungan militer dari negara-negara OKI, Organisasi konferensi Islam. Perbedaan mazhab Syi'ah-Sunni menjadi jurang pemisah akut yang bahkan menjadi pemicu konflik tersendiri di Timur Tengah.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar juga tentu tidak mau terseret konflik kepentingan negara-negara Timur Tengah. Pendekatan yang kita lakukan lebih ke arah rekonsiliasi damai dan menghindari penggunaan kekuatan militer.

Demikian juga dengan Rusia sebagai sekutu dekat Iran.

Kepentingan Rusia toh sama dengan Amerika, tidak jauh dari penguasaan minyak dan jual beli senjata. Sejauh konflik bisa mengerek omzet penjualan alat-alat perang, maka sejauh itulah Rusia mau terlibat. Iran hanya menjadi kepanjangan tangan Rusia saja untuk memukul AS di satu sisi; sementara pada sisi yang lain AS dan Rusia pada dasarnya diuntungkan dengan adanya perang.

Berkaitan dengan konflik di Laut Cina Selatan, walau tampak agresif tetapi sejatinya Cina juga pasti berhitung soal kekuatan militer.

Di depan negara-negara ASEAN, coast guard Cina memang tampil percaya diri tapi tidak di hadapan armada Asia Pasifik Amerika dan sekutunya. Masih sangat jauh perimbangan kekuatan dan pengalaman perang antara mereka. 

Porak porandanya Jepang gara-gara Perang Dunia II tentu menjadi pelajaran penting bagi Cina untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Terlalu mahal kemajuan ekonomi yang mereka nikmati untuk dikorbankan begitu saja dalam sekejap mata.

Lalu apakah krisis Iran dan Laut Cina Selatan akan berdampak serius?

Ditinjau dari segi ekonomi, meningkatnya tensi di kedua kawasan tersebut pasti berpengaruh terhadap perekonomian global; bahkan mungkin bisa berdampak resesi jika berlangsung dalam jangka waktu lama.

Indonesia juga tentu kena imbasnya. Sektor energi di mana kita masih tergantung impor minyak tentu akan tercekik jika harganya meningkat tajam. Minyak brent mulai merangkak naik 3,6% ke level US% 68,60/ barel; kemudian minyak berjangka AS bertambah 3,1% hingga level US$ 63,05/ barel (detik.com, 06/01/2019). 

Kenaikan harga minyak akan mendorong kenaikan harga-harga yang lain sehingga menjadi beban pertumbuhan ekonomi.

Meski ekonomi sudah nyata terimbas, tetapi hingga titik kulminasi yang memicu perang dunia tampaknya masih jauh. Ada beberapa fase yang harus dilewati dan itu memberi waktu kepada masyarakat internasional untuk sama-sama menahan diri.

Indonesia, khususnya di kawasan ASEAN, bisa memaksa Cina untuk duduk bersama lagi menyelesaikan perundingan yang belum tuntas sepenuhnya. Sementara itu, sebagai anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB, Indonesia tampaknya tidak akan dapat berbuat lebih jauh menghadapi perseteruan Iran-AS yang kian meruncing.

Perang kawasan antara Iran dengan Amerika dan sekutunya mungkin segera terjadi, seperti juga dahulu terjadi di Irak. 

Marwah para mullah terlanjur luka dan bendera merah Iran yang berarti pernyataan pembalasan dendam bisa jadi akan diikuti gelar kekuatan militer secara total. Barangkali hal itu memang sudah termasuk dalam roadmap   Arab Spring; setelah Mesir, Libya, Irak, Suriah, Yaman, dan Tunisia.***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun