Apa-apaan Jokowi ini. Apakah hutang budi sama koalisi yang membantunya terpilih jadi presiden telah membuatnya jadi sandera? Kira-kira seperti itu prasangka yang berkecamuk dalam pikiran.
Tetapi sedikit skeptis mendorong hati untuk mencari tahu, apa yang terjadi di dalam institusi KPK.
Informasi yang saya dapatkan ternyata ada indikasi tindakan abuse of power segelintir pejabat KPK. Ada yang tersandung kasus penyadapan untuk kepentingan politik. Ada yang terendus masalah perbedaan tafsir ideologi, berkeinginan 'ganti sistem' cara kita bernegara. Ada pula dugaan  tebang pilih dalam menangani kasus.
Memang, informasi tadi tidak dapat kita telan langsung mentah-mentah. Fakta pendukung lain harus digali, adakah tokoh yang pro dengan RUU KPK ini. Ternyata ada.
Beberapa sosok seperti mantan Ketua KPK Â Antasari Azhar dan Guru Besar Unpad Prof. Romli Atmasasmita membuat hati mantap pada keyakinan, pegawai KPK pun manusia juga seperti kita. Mereka terdiri dari darah dan daging mentah, juga punya syahwat. Mereka harus diawasi.
Persoalan lagi soal pengawas ini.
Adakah sosok yang mampu berdiri tegak menantang oligarki kekuatan koruptor di tubuh legislatif, eksekutif, dan yudikatif sekaligus? Mereka ini harus luar biasa cerdas, luar biasa tegas, dan betul-betul lempeng seperti penggaris. Pokoknya harus cadas.
Orang-orang biasa yang buta hukum mana paham soal kongkalikong pasal-pasal selundupan para garong kerah putih. Salah satu penyebab korupsi tumbuh subur juga adalah rendahnya hukuman koruptor, dan fasilitas-fasilitas mewah yang mereka dapatkan setelah divonis hakim. Mafia hukum dan kaki tangannya gentayangan di mana-mana.
"Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau, ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada. Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu" (Mahfud MD, kompas.com 19/12/2019).
Seluk beluk anggaran, kita-kita yang buta akuntansi kelas tinggi mana ngerti soal kerugian negara yang terselip halus di antara ribuan lembar dokumen administrasi.
Kita butuh pakar yang berkompeten di bidang itu sekaligus yang berhati baja dan tidak silau dengan bayaran.
Jokowi menawarkan pendekatan lain.