Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perang Dagang Indonesia-Uni Eropa 2020: Sawit Ditolak, Nikel Bertindak

16 Desember 2019   13:28 Diperbarui: 18 Desember 2019   18:52 127903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelapa sawit (iStock foto/ liputan6.com).

Ekspor bijih nikel Indonesia terbesar ke China, mencapai 98 persen. Sisanya, yang 2 persen dikirim ke Uni Eropa (UE) .

Nikel ini adalah komoditas strategis di masa depan. Kecenderungan dunia untuk menggunakan alat transportasi listrik akan menyebabkan meningkatnya ketergantungan pada industri pembuatan baterai yang berbahan baku nikel.

Indonesia adalah salah satu raja nikel dunia, menguasai 20 persen perdagangan bahan baku pembuatan lithium battery ini. Selain untuk industri baterai mobil, nikel diperlukan dalam industri pembuatan baja (kompas.com, 15/12/2019).

Kebijakan Jokowi melarang ekspor bijih nikel mentah mulai 1 Januari 2020 membuat UE berang. Industri mobil listrik mereka terancam mangkrak sebelum 2045 yang menjadi target mereka. Juga industri bajanya.

UE menggugat keputusan RI itu melalui World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia.

Menghadapi gugatan negara-negara Eropa tidak membuat gentar Indonesia. Pemerintah segera mempersiapkan lawyer terbaik untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Berbeda dengan UE yang konfrontatif, China lebih memilih bersikap kooperatif. Larangan ekspor nikel mentah kita malah membuat mereka menanam investasi di Indonesia.

Hal itu diungkapkan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan (cnbcindonesia.com, 13/12/2019).

"Tapi saya bilang sama mereka kami ekspor 98 persen ke China kok wong China kami tutup nggak marah, dia balik investasi ke Indonesia. Kok kalian hanya 2 persen kami ekspor mau menuntut kami."

Keinginan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor patut mendapat apresiasi.

Batubara, nikel, kelapa sawit dan berbagai komoditas lain yang sebelumnya dijual murah akan ditingkatkan nilai ekonominya melalui kebijakan hilirisasi.

Menyetor bahan mentah sudah kita lakukan sejak zaman VOC. Kopi, rempah-rempah, timah, emas sudah kita berikan; UE tampaknya tidak ingin Indonesia beranjak dari posisi itu.

Ibarat petani yang lebih memilih menjual beras daripada gabah, siapa yang berhak melarang?

Kelapa sawit (iStock foto/ liputan6.com).
Kelapa sawit (iStock foto/ liputan6.com).
Sebelum menyoal larangan ekspor nikel, UE menekan Indonesia dengan diskriminasi produk olahan sawit.

Mulai 1 Januari 2020 juga mereka menerapkan peraturan bahwa bahan seluruh bakar di Benua Biru harus berasal dari sumber energi terbarukan, dan biofuel yang berbahan baku kelapa sawit tidak termasuk kategori itu.

Anehnya, biofuel berbahan baku kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari tetap dimasukan kelompok energi terbarukan.

Dampak dari kebijakan diskriminatif UE menyebabkan Indonesia merugi karena ekspor produk olahan minyak sawit dan biofuel kita terus menurun.

Tahun 2018 nilai ekspor komoditas fatty acid methyl ester (FAME) tersebut mencapai USD 934 juta. Tahun 2019 nilai FAME menurun 5,58 persen, atau hanya menjadi sekitar USD 882 juta.

Penurunan ekspor produk olahan sawit ke Eropa membuat pemerintah kerepotan mencari pasar alternatif. Beberapa negara dijajaki termasuk daya serap konsumsi olahan sawit di dalam negeri.

UE menganggap biofuel Indonesia bukan sumber daya yang dapat diperbarui. Alasannya, industri pengolahan kelapa sawit memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) yang berisiko tinggi terhadap laju deforestasi.

Menghadapi diskriminasi UE tersebut Indonesia tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan untuk melobi pihak pemerintah di sana agar mencabut kebijakan tak adil tersebut.

Namun tampaknya upaya kita yang dilakukan intensif sejak awal tahun 2019 tidak membuahkan hasil.

Indonesia kemudian mengadukan juga masalah diskriminasi produk olahan sawit itu kepada WTO. Sebagai inisiasi awal, Indonesia sudah mengajukan request for consultation kepada pihak UE sejak 9 Desember lalu (cnbcindonesia.com, 15/12/2019).

Sektor energi sudah jelas nilai strategisnya.

Menurut kepentingan nasional kita, diskriminasi produk olahan kelapa sawit dan biofuel oleh UE itu tidak adil sehingga semestinya WTO memenangkan gugatan Indonesia.

Pada sisi yang lain, meningkatkan nilai tambah komoditas ekspor, dalam hal ini nikel, adalah hak kita sebagai negara yang berdaulat. Kalau mampu melakukan itu, negara mana pun tidak berhak melarang.

Namun selogis apapun klaim kita, selama tidak sehaluan dengan kepentingan UE pasti akan ditolak habis-habisan. Urusannya adalah soal kepentingan ekonomi, urusan perut warga negara masing-masing.

Apapun hasilnya nanti, Indonesia sudah menunjukkan sikap berdiri setara bangsa-bangsa Eropa. Tidak lagi jadi bangsa penurut yang mudah dibujuk dan dikibuli untuk diperas kekayaan alamnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun