Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Pak Jokowi, Ini Lho yang Bikin Saya Kecewa sama Bapak"

19 Oktober 2019   23:26 Diperbarui: 19 Oktober 2019   23:47 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan K. H. Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih (sindonews.com).

Sebelumnya saya ucapkan selamat, buat Bapak juga Pak Ma'ruf Amin.

Semoga tingkat kepuasan rakyat yang baru  58,8% bisa meningkat lagi di periode kedua nanti. Pak SBY bisa nyampe 80% lho Pak, padahal wakilnya sama, Pak JK.

Mohon maaf tidak bisa hadir dalam acara pelantikan Bapak besok Ahad. Bukan apa-apa, tapi saya tunggu undangannya kok gak nyampe-nyampe ya? Alamat masih yang lama Pak.

Soal  hasil survey  yang  disebut tadi memang sedikit banyak  saya  paham penyebabnya.  Tepatnya mencoba paham.  Nanti akan saya tulis di sini; kalau nggak keduluan kawan Kompasianer lain.

Atau, Bapak juga mungkin sebenarnya tidak  peduli sama angka-angka hasil polling. Toh sudah menang. Jadi untuk sejenak bisa kita lupakan dulu soal itu.

Langsung pada pokok masalah saja ya Pak. Begini.

Pertama, waktu pemilihan cawapres.

Ketika Pak Jokowi kabarnya akan pilih Pak Mahfud terus terang saya senang.

Tapi jangan suudzon dulu, saya tidak kenal Pak Mahfud; apalagi beliau kepada saya. Tidak ada kepentingan pribadi apapun tentang hal ini.

Saya senang karena Pak Mahfud MD itu punya integritas, pengalaman, dan juga pengetahuan di bidang hukum; bisa jadi modal untuk membenahi sistem hukum dan peradilan di Indonesia.

Gak enak kan dengernya, koruptor susah-susah ditangkap tapi kemudian bebas atau dipidana ringan. Yang masuk bui juga kok bisa-bisanya jalan ke hotel, belanja ke mall, kulineran, bahkan sempat mampir ke toko bangunan segala. LP kita kesannya cuma jadi basa-basi doang.

Kalau kondisinya seperti itu kapan koruptor-koruptor pada kapok.

Setelah  disorot media, baru pemerintah mendadak peduli; yang suka bolos dipindah ke Gunung Sindur. Dulu pada kemana beliau-beliau itu? Kasusnya kan terjadi berkali-kali.

Saya usul itu penjara-penjara kita di-gunungsindurkan- saja semua. Atau diperbanyak.

Anggaran tidak mesti semua APBN. Piutang negara juga  mungkin memadai.

Dari Yayasan Supersemar saja katanya ada Rp 4,4 triliun yang harus disetor. Coba kita kalkulasi.

Berapa anggaran bikin lapas sekelas Gunung Sindur? Seratus, dua ratus, lima ratus milyar? Kalo biayanya Rp 500 M berarti berarti bisa bangun sekitar 9 lapas. Itu dari  1 kasus Supersemar, belum yang lain.

Selain bangunan fisik, manajemen juga perlu diperbaiki.

Kepala lapas dan sipir yang terbukti  kongkalikong pecat saja. Adili. Yang baru main mata langsung rotasi, 'transmigrasikan' ke pulau lain. Kasih tantangan yang lebih berat, biar mata mereka melek.

Soal manajemen lembaga pemasyarakatan serahkan saja pada ahlinya, Pak Rahadi Ramelan.

Begitu juga hakim-hakim yang suka gak tegaan sama terdakwa berduit.  Perlu gebrakan untuk mencari dan memberi ruang bagi hakim yang berani dan berintegritas.

Rakyat tahu, bisa merasa kalau ada putusan yang timpang. Kasus yang satu diputus ringan sementara kasus yang lain jauh lebih berat. Rasa itu, rasa keadilan, jadi terusik.

Kembali  ke soal cawapres.

Dan, setelah akhirnya Bapak memilih Pak Ma'ruf  sebagai pendamping, saya tetap dukung. Saya percaya pasti ada alasan di balik itu.

Soal strategi Pak Jokowi memang jagonya dan tidak semua harus diungkapkan kok. Tapi mengenai pembenahan hukum, saat ini menurut saya penting untuk diprioritaskan. Siapapun wapresnya.

Tentang Pak Ma'ruf sendiri belakangan saya gali info-infonya, ternyata sadis juga prestasi beliau.

Saya sungguh berharap gagasan Marufnomics betul-betul dapat terealisasikan. Prospektif. Mengangkat angka pertumbuhan ekonomi kita yang bertahun-tahun berkutat  di angka 5.

Tidak usahlah muluk-muluk sampai dua digit. Kisaran 9 % saya pikir sudah sangat baik. Dulu ortu senang kalau di sekolah saya dapat nilai 9, apalagi kalo 10. Langsung dibeliin sepeda.

Demikian soal penegakkan hukum di negara kita.

Kemudian yang kedua, soal  UU KPK.

Keputusan Pak Jokowi  menyetujui RUU KPK sukses mengiris opini Indonesia jadi 5 bagian.

Pro Jokowi dan UU KPK; pro Jokowi tapi anti  UU KPK; anti Jokowi tapi pro UU KPK; anti Jokowi dan sekaligus anti UU KPK; yang terakhir golput. Seterah. Blessing in disguise, hal itu membantu menetralkan polarisasi setelah pemilu.

Di sisi Bapak ada Pak Johan Budi dan Pak Antasari Azhar; orang KPK juga dulunya. Orang dalam.

Saya yakin mereka memberikan info pembanding, seluk  beluk KPK sebenarnya. Yang  jauh lebih akurat dibanding media mana pun.

Di sisi seberang yang menentang UU KPK, jumlahnya juga banyak.

Tokoh-tokoh yang berintegritas; bukan massa yang bakar ban di jalan tengah malam. Saya melihat ada miskomunikasi.

Mungkin tujuan sebenarnya sama. Hanya kurang saling pengertian.

Mengundang tokoh nasional itu baik, sebelum terjadi gejolak. Bukan sesudahnya.

Demikianlah.

Di satu sisi saya juga pro pemberantasan korupsi dan anti pelemahan KPK (yang direpresentasikan oleh RUU KPK itu). Tetapi juga saya penasaran alasan Bapak setuju UU itu.

Katanya  yang pro, UU penting karena KPK harus dibongkar. Ditata ulang.

Mengapa dibongkar? Karena sudah menjadi 'sarang Taliban' dan karena tebang pilih dalam menangani kasus.

Yang kelas kakap di mana pelakunya berasal dari kelompok tertentu dibiarkan lolos; sementara yang kelas kroco asal dari kubu anu pasti diciduk.

Banyak juga  yang gerah dengan kewenangan KPK dalam penyadapan; pejabat hingga pimpinan parpol bisa diintip untuk berbagai kepentingan. Yang, karena sifatnya serba rahasia, kewenangan tersebut bisa diperalat untuk memenuhi ambisi politik.

Memang tidak pantas kalau KPK jadi tangga pijakan untuk maju pilpres secara tidak sopan. Kacau.

Apa iya seperti itu. Atau gara-gara KPK membuat takut kepala daerah dan menghambat investasi?

Blak-blakan saja Pak Jokowi. Seperti Pak Tengku  Dzulkarnaen yang mengaku sudah 17 tahun mengajar agama di KPK.

Tidak boleh ada opini-opini liar yang berkembang. Kontraproduktif. Yang dapat dimanfaatkan untuk memecah.

Problem sudah jelas: korupsi masih tinggi; radikalisme masih merebak; dan ekonomi belum memuaskan.

Mudah-mudahan Tuhan memberi kekuatan agar Bapak dan Pak ma'ruf dapat menyelesaikannya. Setelah Dia memberikan kesempatan kedua.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun