Karena pembangkit listrik yang dibuat itu menggunakan sumber daya air setempat yaitu aliran sungai,  Puni  mensyaratkan kepada warga agar menjaga kelestarian daerah hulu yang menjadi zona tangkapan air. Luasnya 30 Km persegi. Kalau sungai surut bagaimana bisa turbin berputar.
Bukannya tanpa halangan. Namanya hidup, berbuat baik saja tidak mesti dapat dukungan.
Di Subang  Puni pernah tersandung.  Urusan ke bank gara-gara politik.
Project yang ia garap di Curug Agung  semula lancar jaya. Warga di daerah itu sepakat membangun fasilitas pembangkit setrum swadaya , sumber dana dari Bank Exim.
Listrik yang dihasilkan selanjutnya akan dijual ke warga dengan harga Rp 300/ Kwh, untuk mengembalikan pinjaman sebesar Rp 44 juta. PLN berkomitmen tidak akan masuk ke Curug Agung selama 10 tahun. Memberikan kesempatan pengelola PLTMH mengembalikan pinjaman ke bank.
Angin politik yang beraroma ambisi berubah arah. PLN ingkar janji.
Bupati setempat yang ingin partai jagoannya menang di Curug Agung menggandeng PLN masuk. Harga listrik per Kwh punya PLN lebih murah, Rp 112. Subsidi negara. Alhasil pembangkit listrik yang dikelola remuk karena  kalah bersaing. Pak Subarnas, koordinator iuran warga, stress dihantui cicilan hingga akhirnya meninggal dunia. Tiga hari setelah PLN masuk Curug Agung.
Puni bersama tim ikut tersangkut. Pinjam sana pinjam sini, akhirnya lunas pinjaman ke bank yang baru separuh cicilan.
Kita saat ini mungkin bisa bilang, lha itu berarti PLN sebenarnya bisa kan masuk Curug Agung? Ya begitulah Indonesia, negeri kita itu. Semoga sekarang tidak lagi.
Jokowi saat ini punya asa, menggenjot target 35.000 Megawatt  listrik untuk seluruh Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Sejauh mana capaiannya setelah 5 tahun silakan googling sendiri.