Yang menarik kita ikuti  adalah nasib para menteri perempuan yang selama ini kebal reshuffle. Apakah pergantian periode pemerintahan akan menjadi kesempatan Jokowi untuk melakukannya? Sepertinya kemungkinan itu cukup besar, di luar Khofifah Indar yang sudah aman di Jatim.
Namun jika pergantian itu terjadi, rasanya sayang jika 2 menteri ini harus dilepas: Sri Mulyani Indarwati dan Susi Pudjiastuti. Bahkan tidak berlebihan juga jika mereka dipromosikan  levelnya menjadi menteri koordinator.  Sri Mulyani menjadi Menko Ekuin, sedangkan Susi menjabat Menko Kemaritiman. Output yang diharapkan, kementerian-kementerian yang selama ini kurang efisien atau kontraproduktif dapat lebih terpacu kinerjanya.
Sri Mulyani yang tidak berprestasi di mata Fadli Zon dan Fahri Hamzah dikenal ketat dan disiplin dalam soal anggaran dan prinsip keuangan. Kemendikbud yang pernah merasakan tajamnya ketelitian menteri keuangan ini, anggaran bidang pendidikan dikoreksi hingga 23 triliun pada masa Anies Baswedan dan dipangkas 4 triliun ketika dipegang Muhadjir Effendy.
Membaiknya peringkat kredibilitas Indonesia dari BBB- menjadi BBB dan inflasi yang terkendali di angka 3% juga menjadi bukti mulusnya kerja tim moneter yang melibatkan mantan direktur World Bank ini. Â
Pada posisi Menko Ekuin, Sri Mulyani mungkin punya sudut pandang terbaik dalam meningkatkan efisiensi lintas bidang antara Kementan, Kemendag, Bulog, perbankan, pelaku industri, BUMN, dan Kemenkeu sendiri.
Di sektor kelautan, Susi Pudjiastuti dibutuhkan untuk mengembalikan institusi kemaritiman ke dalam khittah yang sesungguhnya. Siapa tahu pula menteri eksentrik ini ternyata yang paling mampu menjabarkan sekaligus mewujudkan konsep poros maritim Indonesia.
Selama periode pertama rezim Jokowi sudah terbukti: siapapun Menko Kemaritiman, Susi tetap yang memegang KKP. Dan praktis perempuan asal Pangandaran inilah yang jadi representasi sebenarnya dari lembaga kemaritiman kita itu.
Selain menghalau kapal asing, Susi yang berpengalaman dalam bisnis komoditi hasil laut juga perlu kita dengar gagasannya dalam hal sustainable fishery.
Penilaian tersebut mungkin dianggap berlebihan jika dikaitkan dengan polemik reklamasi Teluk Benoa di Bali. Demokrasi kadang-kadang harus mengakomodasi pandangan-pandangan berbeda, yang utopis sekalipun.
Ini sekadar usulan, siapa tahu Sri Mulyani dan Susi juga sudah punya rencana pribadi yang lain.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H