Awal tahun 2019 misalnya, Kementan meluncurkan Program  Santri Tani Milenial di Tasikmalaya yang bertujuan  untuk meningkatkan partisipasi komunitas pesantren di bidang pertanian. Potensinya cukup besar, ada sekitar 4 juta jiwa di seluruh Indonesia.
Selain santri, pemerintah juga membidik mahasiswa terutama yang berasal dari disiplin ilmu pertanian.
Salah satu insentif yang ditawarkan yaitu bantuan permodalan sebesar 15-30 juta rupiah bagi mahasiswa Politeknik Pengembangan Pertanian (Polbangtan) di Gowa yang tertarik menjadi agropreneur profesional.
Kurikulum juga berubah; perkuliahan berbasis praktik lapangan menggantikan  cara perkuliahan lama yang berorientasi teori.
Selain penyusutan SDM, masalah lain yang perlu diselesaikan adalah semakin berkurangnya luas lahan pertanian. Angka kepemilikan tanah pada keluarga petani berangsur-angsur semakin menurun.
Pada tahun 1993 rata-rata kepemilikan sawah keluarga petani sebesar 0,48 ha. Sepuluh tahun berikutnya, 2003, kepemilikan menyusut jadi 0,3 ha. Dan tahun 2013 tinggal tersisa 0,2 ha saja rata-ratanya (Bappenas, 2014).
Peningkatan  populasi penduduk menyebabkan peningkatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian, contohnya pemukiman. Hal ini menyebabkan perambahan hutan terus terjadi untuk mengganti  lahan pertanian yang hilang. Jika hutan berkurang, otomatis akan mengganggu siklus air dan cuaca serta kehidupan liar yang ada di dalamnya.
Fenomena yang tidak lazim seperti terjadinya banjir di dataran tinggi di sekitar Bandung, Garut, Dieng, dan daerah lainnya menunjukkan anomali perilaku air. Alih fungsi hutan menjadi  area pertanian yang terjadi di sana mengakibatkan daur air alami terganggu dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat.
Bagaimana agar kesinambungan pertanian  dan konservasi lingkungan dapat berjalan berdampingan? Ada beberapa langkah yang harus kita ambil.
Pertama, efisiensi lahan pertanian.
Efisiensi lahan dapat dilakukan dengan membangun  pertanian vertikal yang hemat tempat, berpadu dengan teknologi hidroponik atau aeroponik. Selain itu, sistem budidaya tumpang sari dapat dilakukan di area hutan produksi yang diselingi dengan berbagai jenis tanaman  berumur pendek.