Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menjadi Mahasiswa "Double Minority" Gara-gara Bertani

22 Mei 2019   06:38 Diperbarui: 22 Mei 2019   07:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanaman padi mulai berisi (dokpri).

Senangnya hati kala jualan laris, apalagi sampai konsumen jadi pelanggan tetap. 

Meskipun harga beras yang kami pasarkan jauh di atas rata-rata, nyaris lipat dua harga pasaran, namun pembeli tetap mencari. Volume penjualan pun lalu meningkat dengan menyalurkan  produk sejenis dari petani.

Komoditi yang kami pasarkan memang bukan produk sembarangan; beras organik varietas lokal dari sawah yang diolah secara ramah lingkungan.

Kegiatan wirausaha kami di bidang pertanian organik sebenarnya berawal dari diskusi kampus yang membahas isu konservasi lingkungan. Rasanya ada yang keliru mengamati  laju  deforestasi  yang luar biasa ketika itu, apalagi pada masa-masa awal reformasi di mana penjarahan lahan hutan tidak terkendali.

Tercatat  kerusakan hutan  yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-2000 luasnya mencapai 2,83 juta hektar.

Selain kerusakan hutan, kualitas lingkungan juga menurun akibat  penggunaan bahan kimia sintetik yang tidak terkontrol dalam kegiatan  pertanian konvensional. Dampak yang terjadi, kualitas tanah menurun dan kehidupan satwa liar di habitat asli semakin berkurang, baik dari segi jumlah maupun keragaman.

Sebagai bentuk wacana tandingan atas isu kerusakan lingkungan itulah ide bertani secara organik meluncur. Pilihan yang terasa berbeda sendiri diantara puluhan aktivitas mainstream  yang ada di kampus. Tak heran anggota yang berminat pun bisa dihitung dengan jari.

Jadi petani bagi sebagian besar mahasiswa mungkin seperti memutar balik roda nasib; alih-alih naik derajat jadi pegawai negeri seperti harapan orang tua di desa.

Sawah organik di lahan kampus

Kendala pertama yang menghadang saat mewujudkan ide  organic farming  adalah soal lahan.

Beruntung pihak kampus memiliki gelombang frekuensi yang sama soal pelestarian lingkungan. Mereka memberikan izin pengelolaan lahan inventaris yang masih berupa sawah di belakang kampus. Satu bantuan yang tak ternilai harganya waktu itu.

Bagaimana mungkin memasyarakatkan cara bertani organik jika mengandalkan ceramah atau diskusi saja? Perlu bukti berupa sawah yang digarap secara nyata, artinya harus ada lahan.

Pertanian organik adalah  cara bertani yang berprinsip 'kembali ke alam'.  Metode  ini mensyaratkan pengelolaan yang ramah lingkungan yaitu menghindari penggunaan bahan-bahan kimia sintetik buatan pabrik.

Bercocok tanam tanpa bekal pengetahuan dan kepedulian lingkungan diam-diam berpotensi merugikan manusia sendiri.

Pemupukan berlebihan menyebabkan ledakan populasi gulma air yang mempercepat pendangkalan sistem irigasi dan badan air seperti danau, situ, dan waduk. Sementara, pestisida untuk melindungi tanaman ternyata tidak hanya ampuh membasmi hama tetapi sekaligus dapat membunuh hewan-hewan liar yang berguna bagi manusia.

Cara bertani tradisional yang menjadi inspirasi pertanian organik menawarkan solusi alternatif.

Pupuk berupa kompos dapat dibuat dari olahan sampah organik yang difermentasi. Proses dekomposisi tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan air nira untuk merangsang perkembangbiakan mikroorganisme tanah. Mikroba alami tersebut mengurai senyawa kompleks menjadi unsur hara sebagai nutrisi tanaman.

Demikian juga dengan pestisida alami atau biopestisida.  Pembasmi hama serangga dapat dibuat dengan memanfaatkan  bahan-bahan sederhana. Contohnya yaitu biopestisida dari asap cair limbah tempurung kelapa. Murah tapi cukup efektif.

Limbah tempurung kelapa dapat dimanfaatkan untuk pembuatan biopestisida alami yang ramah lingkungan (8villages.com).
Limbah tempurung kelapa dapat dimanfaatkan untuk pembuatan biopestisida alami yang ramah lingkungan (8villages.com).

Satu paket dalam  metode pertanian organik adalah penggunaan benih varietas lokal. 

Di Indonesia terdapat ratusan varietas padi lokal. Beberapa varietas yang berhasil kami peroleh diantaranya yaitu pandan wangi, gandamana, padi hitam, garung, rojolele, cere, dan mentik wangi. Total ada sekitar 35 varietas pada waktu itu, kebanyakan diperoleh dari hasil barter dengan sesama petani organik di sekitar eks-karesidenan Banyumas.

Petani organik harus berkomitmen melestarikan kekayaan plasma nutfah endemik agar tidak punah karena tergeser oleh varietas hibrida. Pertanian monokultur apalagi monovarietas rentan terhadap serangan penyakit atau perubahan iklim.

Walaupun pertanian organik berbiaya murah dan harga produknya relatif tinggi, bukan berarti petani gampang tertarik.

Menjadi petani organik butuh kesabaran dan ketelatenan. Mereka  harus mempersiapkan benih sendiri termasuk juga pupuk dan pembasmi hama alami yang tidak dijual di pasaran. Sementara itu, waktu panen padi varietas lokal umumnya lebih lama.

Seiring dengan perubahan zaman, budaya pragmatis semakin merasuki  seluruh lapisan masyarakat. Alhasil, mayoritas petani pun lebih memilih metode konvensional daripada metode organik yang dianggap ribet.

Praktik bercocok tanam warisan leluhur ini semakin tersisih karena budaya instan  yang serba praktis. Benih tinggal beli, pupuk dan pestisida tinggal beli, dan siklus panen lebih cepat; itulah kelebihan pertanian non-organik atau konvensional yang disukai petani.

Regenerasi petani dan konservasi lingkungan

Tidak jauh berbeda dengan kondisi dahulu, popularitas profesi petani di kalangan generasi muda saat ini juga semakin menurun. Data menunjukkan, sejak tahun 2010 hingga 2017 terjadi  penurunan rata-rata 1,1%  per tahun.

Pada sisi yang lain, munculnya agropreneur muda yang berani eksis menampakkan diri juga patut diapresiasi dan perlu didukung oleh pemerintah. Mereka menekuni budidaya padi, jagung, kopi, rempah-rempah, dan komoditi lainnya. Ada juga yang memilih jadi peternak atau budidaya ikan.  


Keberhasilan mereka berwirausaha di bidang pertanian akan memotivasi generasi muda lainnya untuk ikut terlibat. Terlepas dari metode yang digunakan, apakah secara organik atau konvensional.

Pemerintah juga terus aktif melakukan usaha untuk menginisiasi proses regenerasi petani di kalangan milenial. Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia 2045 membuat pemerintah harus bergerak cepat. Tanpa dukungan petani program tersebut tidak mungkin tercapai.

Awal tahun 2019 misalnya, Kementan meluncurkan Program  Santri Tani Milenial  di Tasikmalaya yang bertujuan  untuk meningkatkan partisipasi komunitas pesantren di bidang pertanian. Potensinya cukup besar, ada sekitar 4 juta jiwa di seluruh Indonesia.

Selain santri, pemerintah juga membidik mahasiswa terutama yang berasal dari disiplin ilmu pertanian.

Salah satu insentif yang ditawarkan yaitu bantuan permodalan  sebesar 15-30 juta rupiah bagi mahasiswa Politeknik Pengembangan Pertanian (Polbangtan) di Gowa yang tertarik menjadi agropreneur profesional.

Kurikulum juga berubah; perkuliahan berbasis praktik lapangan menggantikan  cara perkuliahan lama yang berorientasi teori.

Selain penyusutan SDM, masalah lain yang perlu diselesaikan adalah semakin berkurangnya luas lahan pertanian. Angka kepemilikan tanah pada keluarga petani berangsur-angsur semakin menurun.

Pada tahun 1993 rata-rata kepemilikan sawah keluarga petani sebesar 0,48 ha. Sepuluh tahun berikutnya, 2003, kepemilikan menyusut jadi 0,3 ha. Dan tahun 2013 tinggal tersisa 0,2 ha saja rata-ratanya (Bappenas, 2014).

Peningkatan  populasi penduduk menyebabkan peningkatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian, contohnya pemukiman. Hal ini menyebabkan perambahan hutan terus terjadi untuk mengganti  lahan pertanian yang hilang. Jika hutan berkurang, otomatis akan mengganggu siklus air dan cuaca serta kehidupan liar yang ada di dalamnya.

Fenomena yang tidak lazim seperti terjadinya banjir di dataran tinggi di sekitar Bandung, Garut, Dieng, dan daerah lainnya menunjukkan anomali perilaku air. Alih fungsi hutan menjadi  area pertanian yang terjadi di sana mengakibatkan daur air alami terganggu dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat.

Bagaimana agar kesinambungan pertanian  dan konservasi lingkungan dapat berjalan berdampingan? Ada beberapa langkah yang harus kita ambil.

Pertama, efisiensi lahan pertanian.

Efisiensi lahan dapat dilakukan dengan membangun  pertanian vertikal yang hemat tempat, berpadu dengan teknologi hidroponik atau aeroponik. Selain itu, sistem budidaya tumpang sari dapat dilakukan di area hutan produksi yang diselingi dengan berbagai jenis tanaman  berumur pendek.

Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah juga harus mulai mengadopsi pertanian presisi yang dikenal sebagai pertanian 4.0 atau pertanian generasi keempat.

Pertanian 4.0 pada era digital bukanlah sekadar membuat aplikasi jual sayuran online, tetapi jauh lebih kompleks dan sistemik. Strukturnya berupa interaksi berbagai sistem atau super-sistem yang saling terhubung. Sistem-sistem tersebut  antara lain: sistem ekonomi dan perdagangan, sistem informasi meteorologi dan geofisika, riset dan teknologi, sistem transportasi dan distribusi, hingga sistem pertanian itu sendiri dengan aspek mekanisasinya dari hulu hingga ke hilir.

Dalam pertanian berbasis analisis data, keseluruhan sistem-sistem terkait dikelola untuk mencegah terjadinya kelangkaan komoditi atau sebaliknya, kelebihan produksi. Setiap sen biaya yang dikeluarkan harus berbanding lurus dengan meningkatnya produktivitas.

Kedua, pemanfaatan lahan yang tidak produktif.

Di Indonesia terdapat banyak lahan tidur dan tidak produktif. Pemanfaatan sumber daya tersebut dapat mengatasi persoalan keterbatasan lahan pertanian.

Salah satu potensi yang belum optimal pemanfaatannya itu adalah rawa. Luasnya sangat luar biasa: 33,43 juta hektar, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Balitbangtan, 2013). Jumlah total area yang layak untuk pertanian diperkirakan sekitar 9,9 juta hektar.

Sebaran potensi luas rawa di Indonesia (screenshoot TVRI Kalsel/ Kementan).
Sebaran potensi luas rawa di Indonesia (screenshoot TVRI Kalsel/ Kementan).

Tantangan pemanfaatan rawa adalah minimnya infrastruktur yang memadai seperti jaringan irigasi, jalan, dan perumahan. Jenis tanaman budidaya juga terbatas karena karakter tanahnya berbeda dengan tanah non-rawa.

Namun demikian rawa juga punya sisi yang menguntungkan seperti topografinya yang rata dan melimpahnya sumber air. 

Jika negara-negara di Timur Tengah saja mampu menaklukkan padang pasir menjadi areal pertanian, semestinya kita lebih mampu untuk mengubah rawa menjadi lahan produktif.

Demikianlah sekilas beberapa permasalahan seputar regenerasi petani yang perlu segera dibenahi. Proses tersebut perlu diiringi usaha meregenerasi sudut pandang kita terhadap pertanian dalam hubungannya dengan kemajuan teknologi dan masalah konservasi lingkungan.

Dengan kesungguhan dan kerja cerdas bukan mustahil pencapaian cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia di tahun 2045 dapat terealisasi lebih cepat. ***

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun