Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menghitung Potensi Massa 212 Menjadi "People Power" untuk Deligitimasi Pemilu

13 Maret 2019   18:07 Diperbarui: 13 Maret 2019   18:20 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi massa pendukung Prabowo-Hatta menolak hasil rekapitulasi Pemilu 2014 (rimanews.com).

Politik luar negeri butuh senjata, politik dalam  negeri butuh massa.

Semakin dekat waktu Pemilu, iklim politik di Indonesia kian memanas dengan semakin kencangnya penggiringan opini  bahwa: telah dan akan terjadi kecurangan.

Terbaru, isu polisi jadi buzzer  yang membuat orang waras geleng-geleng kepala. Kalau 100 polisi tiap Polres jadi buzzer lalu siapa yang akan mengatur lalu lintas?

Amien Rais secara terbuka mengatakan akan menggerakkan massa untuk menggeruduk KPU  seandainya terjadi kecurangan oleh pemenang, maksudnya kubu Jokowi-Ma'ruf.

Melihat afiliasi massa yang berkaitan dengan Amien Rais maka yang paling mungkin adalah massa 212.

Hampir tidak mungkin Amien menggunakan massa Muhammadiyah, atau PAN. Saat ini PAN sendiri diketahui sedang berada dalam ke-gurem-an yang massif dan sulit untuk bangkit. Seberapa banyak massa PAN yang masih militan?

Semakin jelas jawaban pertanyaan mengapa kelompok 212 yang terbentuk dua tahun lalu terus dipertahankankan  eksistensinya. Mereka sedang mewujudkan bentuk asli sebagai alat politik.

Massa 212 memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan massa partai. Bukan partai politik dan bukan juga ormas, walaupun sebutan yang terakhir itu yang paling mungkin.

Massa partai hanya bisa digunakan untuk partai yang bersangkutan. Massa 212 dapat digunakan oleh lintas partai, asal kepentingannya searah dan setujuan.

Bertabir isu penistaan agama dan kriminalisasi ulama, massa 212 yang terbentuk dua tahun silam untuk menekan peradilan kasus Ahok; bertahan menyambung hidup dengan rutin mengadakan reuni.

Baru sekarang ada fenomena massa demo bikin reuni tahunan.

Pengelolaan massa pun dilembagakan dengan membentuk organisasi, Persaudaraan Alumni 212 atau PA 212. Apakah organisasi ini legal secara hukum?  Adakah AD/ART nya yang bisa diakses oleh publik?

Reuni tahunan terlalu lama, kurang lincah mengikuti agenda politik yang dinamis.

Momentum sela pun diciptakan dengan menggelar Munajat 212, diadakan 21 Februari 2019. MUI DKI dan acara sholawatan diduga telah ditunggangi. Bawaslu mengendus adanya konten politik berupa kampanye capres di dalam kegiatan tersebut.

Bukan MUI nya yang bermasalah, apalagi sholawatnya, hati-hati nanti ada isu pemerintah membungkam acara sholawatan!

Bawaslu terkait hal ini sudah memanggil beberapa nama untuk mengkonfirmasi dugaan adanya kampanye capres di acara Munajat 212. Sayangnya, dari tiga nama yang dipanggil hanya satu yang patuh memenuhi panggilan Bawaslu.

Pihak MUI DKI yang masih memiliki iktikad baik untuk datang memberikan penjelasan seputar penyelenggaraan Munajat 212 kepada pihak Bawaslu. Sementara Fadli Zon dan Neno Warisman  mangkir sehingga dijadwalkan untuk pemanggilan ketiga 21 Maret nanti.

Bersamaan dengan eksistensi massa yang terus dipelihara, dan itu perlu dana, siklus hoaks pun terus berulang.  Diproduksi dan direproduksi secara paralel dengan serangan kampanye hitam ke kubu petahana; padahal  dari sekian  hoaks gorengan itu semuanya tidak terbukti.

  • isu e-KTP yang tercecer
  • hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos
  • daftar pemilih bermasalah
  • isu Polri membentuk  buzzer melalui aplikasi 'Shambar'
  • isu pemerintah akan melarang adzan
  • penghapusan pelajaran agama
  • hingga isu pemerintah akan melegalkan zina lewat RUU PKS

Terkait Pemilu 2019, lembaga negara yang sah kemudian terancam digerogoti legitimasinya; KPU, Bawaslu, Kemendagri, dan Polri. Institusi-institusi tersebut adalah benteng-benteng kunci  dalam penyelenggaraan pesta demokrasi kita.

Muaranya semakin jelas, opini publik bahwa Pemilu 2019 tidak kredibel. Tidak sah.

Dan ketika waktunya yang tepat telah tiba; massa dimobilisasi untuk menekan penyelenggara Pemilu agar menganulir hasil yang merugikan pihak mereka. Dalam hal ini massa 212 adalah massa yang paling siap.

Kita harus memberikan empati kepada masyarakat bawah yang ikut bergabung di dalamnya. Mereka yang berkorban dan dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat sekelompok elite yang ingin berkuasa.

Penulis melihat sendiri tempo hari saat Munajat 212 akan berlangsung. Seorang ibu dengan tiga anaknya yang masih balita bersama-sama berangkat untuk hadir, mereka dari luar kota.

Yang sulung perempuan bertopi putih membawa satu kresek makanan ringan murah, bendera tauhid, sambil membimbing adiknya yang berjaket tipis.  Masih terlalu kecil untuk melakukan multitasking seperti itu, sementara dia sendiri mungkin masih ingin bermain. Si bungsu yang masih bayi berada dalam gendongan ibunya yang membawa tas ransel.

Semoga mereka baik-baik saja, tidak menderita oleh dinginnya angin malam. Bagaimana KPAI?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun