Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Siklus Hoaks Jelang Pemilu, Dalang Masih Misterius

11 Maret 2019   21:00 Diperbarui: 12 Maret 2019   01:25 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, antara fakta dan kabar bohong (hackernoon.com).

Jika dinas kesehatan mengumumkan di satu daerah terjadi epidemi penyakit atau KLB, Kejadian Luar Biasa; maka hal itu bertujuan untuk menyelamatkan warga.   Mereka yang berpotensi terinfeksi diharapkan waspada dan mengambil tindakan yang perlu agar wabah tidak menyebar.

Seharusnya Bawaslu juga bisa melakukan hal seperti itu ketika terjadi penyebaran fitnah dan hoaks di masyarakat terkait Pemilu 2019.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu, Bawaslu, Bapak Mohammad Afifuddin mengatakan bahwa saat ini telah terjadi peningkatan jumlah daerah yang terpapar hoaks intensitas tinggi.  Jika pada akhir tahun 2018 ada 90 daerah, sekarang bertambah menjadi 92 daerah.

Jumlah 92 daerah itu  yang terpapar hoaks intensitas tinggi, sementara yang intensitasnya sedang dan rendah bisa jadi ratusan daerah.

Masalahnya, Bawaslu enggan menyebutkan daerah terdampak hoaks berisi politik identitas dan SARA itu. Apa gunanya Bawaslu mengumumkan jumlah tersebut jika tidak disebutkan daerahnya? Apakah daerah yang dimaksud itu tingkat desa, kecamatan atau kabupaten?

Pengungkapan temuan Bawaslu yang dibahas  dalam diskusi di Kominfo tersebut maksudnya baik, memperingatkan masyarakat agar hati-hati menerima informasi. Tetapi tanpa menjelaskan daerah mana yang harus waspada lalu bagaimana caranya warga menyadari bahwa di daerahnya terjadi wabah hoaks?

Yang terjadi malah mungkin terjadi disinformasi.

Warga daerah yang tidak terpapar hoaks menjadi resah, jangan-jangan di lingkungannya ada penyebar hoaks. Sementara di daerah yang populasi penyebar hoaksnya tinggi malah tenang-tenang saja dan mempercayai info palsu yang dikonsumsinya setiap hari sebagai kebenaran.

Berita hoaks ratusan, dalangnya selalu lolos

Menurut Kominfo, hingga Februari 2019 tercatat ada sekitar 771 berita bohong  yang beredar di Indonesia. Kerja keras pihak berwenang berhasil mengungkap para pelaku penyebaran berita bohong tersebut.

Di satu sisi hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi calon penyebar agar mengurungkan niatnya. Anonimitas di dunia maya selalu dapat dilacak karena ada jejak digital yang dapat ditelusuri. Tetapi dari beberapa penangkapan pelaku hoaks terdahulu ternyata  bahwa,  mastermind  atau dalangnya  selalu tak pernah terungkap.

Infografis hoaks agama dan politik tahun 2018 (mafindo.or.id).
Infografis hoaks agama dan politik tahun 2018 (mafindo.or.id).
Siklus hidup kemunculan hoaks memiliki kemiripan pola seperti berikut ini:
  • Muncul hoaks viral di media sosial, dilakukan oleh masyarakat biasa.
  • Elite politik atau tokoh mem-blow up seolah-olah minta verifikasi, benarkah seperti itu?
  • Hoaks terkonfirmasi, penyebarnya yang anggota masyarakat biasa ditangkap aparat.
  • Elite politik membantah, menolak terafiliasi dan selamat.
  • Ulang lagi dari langkah pertama.

Selalu seperti itu dari zaman Obor Rakyat dahulu, Saracen, MCA, dan lain-lainnya yang sudah diusut dan diproses di pengadilan.

Sebagai contoh dalam kasus Saracen. 

Jasriadi yang menjadi bos Saracen mengaku bekerja atas inisiatif sendiri.  Afiliasi politiknya juga merupakan pilihan pribadi.

Salah satu klien Saracen, Asma Dewi diketahui menyerahkan uang sebesar Rp 75 juta  kepada kelompok tersebut. Dewi kemudian ditangkap polisi dengan tuduhan menyebarkan kebencian. 

Dewi yang sempat ditahan pihak kepolisian ternyata diketahui memiliki keterkaitan dengan beberapa petinggi Gerindra yang diketahui dari foto yang tersebar di media sosial. 

Namun demikian Fadli Zon tegas menolak dikaitkannya Gerindra  dalam kasus Asma Dewi tersebut. Bahkan Fadli Zon dengan tegas meminta pihak kepolisian untuk mengusut sampai tuntas kasus Dewi. Peristiwa itu terjadi pertengahan September 2017.

Dalam setahun berikutnya ada perubahan yang cukup signifikan. September 2018 Asma Dewi menjadi Caleg  Dapil DKI 2 dari Gerindra! 

Menurut Syarif, Wakil DPD Gerindra DKI, masa lalu Dewi tidak dipersoalkan partainya. Bahkan dikatakan Dewi adalah korban kriminalisasi.

Kasus terbaru yang sedang berjalan adalah teridentifikasinya pemilik akun @opposite6890  terkait isu aplikasi Shambar  yang mendiskreditkan Polri sebagai buzzer dalam pemilu.

Isu aplikasi Shambar ini pernah disamber oleh Mustafa Nahrawardaya dan juga diangkat Andi Arief. 

Bagaimana nasib si pemilik @opposite6890 ini? Apakah dia bekerja sendiri? Kita tunggu kelanjutannya.

Beberapa kasus lain bisa kita urut satu per satu karena ada jejak digital di media. Termasuk isu 7 kontainer surat suara tercoblos yang pernah dikatakan Andi Arief juga. Tetapi dalang sesungguhnya kasus tersebut tidak pernah terlacak.

Logikanya, jika para pelaku yang tertangkap dari dulu-dulu itu memang dalang, harusnya saat ini hoaks berkurang. Kenyataannya produksi hoaks terus berlanjut. Jadi, dalangnya itu lho, siapa sebenarnya?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun