Mbah Poer yang paham kalau ikan-ikan Pakde Karto itu memang satwa yang tidak umum, karena sama seperti Pakde Karto, Mbah Poer adalah "pakar" ikan di kampungnya tersebut. Malah menurut Diman, Mbah Poer yang masih terhitung kerabat inilah yang menyebabkan Pakde Karto ketularan hobi menyusuri pelosok-pelosok sungai hingga jauh ke hulunya.
Setiap Pakde Karto menemukan ikan baru, Mbah Poer yang terkaget-kaget gembira karena ikan dari masa kecilnya yang sudah dikira punah ternyata masih ada. Kegembiraan Mbah Poer bisa berlangsung berhari-hari lamanya, bolak-balik ke kolam bersama Pakde Karto mengamat-amati si ikan hilang seperti sanak kadangnya sendiri.
Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lain ada yang menangani sendiri sehingga Diman merasa kerja bersama Pakde Karto sudah menjadi passion-nya. Begitu ia meniru kata-kata Mas Wira, putra sulung Pakde Karto yang punya perusahaan di Jakarta.
Karena koleksi ikan yang unik ini rumah Pakde Karto kerap kedatangan tamu, kebanyakan anak mahasiswa yang sedang menyelesaikan tugas akhir  atau petani ikan yang ingin mengadukan masalah yang dihadapinya. Kadang-kadang ada pula tamu dari dinas perikanan atau peneliti dari luar negeri.
Kalau tamunya mahasiswa atau petani ikan, cukup sering Diman membantu mendampingi dan melayani pertanyaan mereka satu satu dengan jawaban yang memuaskan. Pakde Karto memang ingin Diman menguasai ilmu ikan seperti yang dimilikinya dan cara terbaik adalah dengan sering mengajarkannya kepada orang lain.
Kalau untuk membantu orang-orang dinas atau terutama tamu asing, Diman jarang dilibatkan oleh Pakde Karto.
Bukan tidak mampu dari segi ilmu, tetapi lebih karena Diman tidak bisa berbahasa asing. Pakde Karto juga tidak mengajari untuk hal ini karena sudah kasip. Salah sendiri Diman dahulu tidak mau sekolah padahal Pakde Karto sudah menyediakan biaya dan menganggap seperti anaknya sendiri.
Dahulu, setelah lulus sekolah dasar, Diman nakal yang seumuran Mas Wira ogah sekolah. Mogok. Sementara Mas Wira tekun menuntut ilmu bahkan hingga ke luar negeri.
Jika ada tamu dari manca negara, Diman seperti kebagian tugas dadakan yaitu menjadi "juru bicara" bagi warga kampung yang bertanya. Â Lewat lidah Diman mereka tahu dari mana tamu itu datang karena mereka tidak paham bahasanya sehingga segan bertanya sendiri.
Tamu Pakde Karto dari luar ada yang dari Jepang, dari Thailand, Belanda, Australia, Amerika, China, hingga tamu-tamu yang berkulit hitam legam dan tinggi-tinggi perawakannya. Untuk yang disebut terakhir Diman cukup bilang "asal Afrika" saja tanpa embel-embel  nama negaranya apa. Diman tidak tahu dan seandainya tahu pun warga kampung tetap tidak paham. Dipikirnya Afrika itu cuma satu negara saja.