Mahfud MD urung lolos jadi bakal cawapres Jokowi. Namun demikian inspirasi dan gagasan positif tokoh dan kader NU ini tidak lantas berhenti.
Bersama dengan Ustadz Yusuf Mansur dan ekonom Faisal Basri, Mahfud MD rencananya akan menghadiri seminar nasional sekaligus peluncuran tagar "2019 Pilpres Ceria", Senin 17 September 2018 di Surabaya.
Tagar penengah ini bertujuan  untuk menangkal isu fitnah dan hoax yang berseliweran menjelang pemilihan presiden tahun 2019 nanti.
Diharapkan dengan tagar yang meredam panasnya kontestasi 2 kubu capres nanti, rakyat akan menerima informasi pembanding sehingga dapat mengambil keputusan yang jernih pada saat hari pencoblosan nanti.
Kekhawatiran akan perpecahan atau disintegrasi bangsa ini memang bukan tanpa alasan.
Tidak hanya perang para buzzer di media sosial, para tokoh politik dan public figure pun kerap melontarkan isu dan kata-kata yang menambah tensi kebencian antarkubu.
Salah satu kata yang kerap disalahgunakan dalam politik di Indonesia adalah kata "setan".
Setan adalah musuh bersama umat manusia. Seorang tokoh menisbatkan kata setan kepada lawan politiknya bertujuan agar masyarakat terprovokasi untuk ikut membenci si lawan tadi tanpa berpikir menggunakan akal sehat lagi.
Kata setan dalam kamus politik Indonesia tidak hanya muncul saat ini saja tetapi sudah ada sejak beberapa dekade lalu.
Dalam konteks politik saat ini yang sedang hangat menuju panas, Amien Rais adalah tokoh yang kerap menggunakan kata berbasis setan.
Amien Rais, pendiri PAN, tercatat beberapa kali menggunakan kata "setan" atau sinonimnya dalam pernyataan politik pada era milenial ini. Era ketika, bahkan lembaga legislatif DPR pun merasa butuh membuat aplikasi seluler sebagai kanal interaksi dengan generasi masa kini.
Amien Rais, 9 September 2018:
"Yang kita hadapi, bukan rezim yang sekarang berkuasa ini. Kalau ini relatif mudah tapi belakang ini ada dajjal ekonomi, dajjal politik, dajjal militer, dajjal intelijen".Â
Sebelumnya pada tanggal 4 Juli 2018 Amien Rais dalam acara silaturahmi halal bi halal Iedul Fitri 1439 H juga mengatakan hal yang kurang lebih sama. Apakah pantas atau tidak  Amien mengatakan itu dalam acara silaturahmi terpulang kepada penilaian masing-masing.
Dajjal atau dajal, satu kata yang sangat bertenaga dan juga cukup populer di kalangan umat Islam. Kata ini lebih spesifik dibanding kata "setan" atau "iblis" sekalipun.Â
Bandingkan juga jika Amien mengganti kata dajal dengan sebutan lain, misalnya "musuh", "perusak", atau "oknum"; terasa ada penurunan tensi. Terlalu biasa, lemah, dan tidak menggerakkan.
Sebelum kata dajal naik daun, Amien Rais juga pernah menggunakan istilah "partai Allah" untuk mengidentifikasi kelompoknya sendiri --PAN, Gerindra, dan PKS-- sebagai lawan dari "partai setan" tanpa merujuk pihak mana pun.
Walaupun tidak disebut eksplisit, kesimpulan dalam benak publik dengan sendirinya sudah terarah, kepada siapa istilah partai setan dimaksudkan.
Tentu saja kubu lawan politik Amien dan bahkan pihak netral pun bereaksi keras. Dikotomi partai Allah vs. partai setan dianggap sudah overdosis dan menyesatkan sehingga bisa menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Selain kata dajal dan setan yang kontroversial, pemilihan kata dikotomis yang tidak relevan pernah terjadi dalam bentuk lain.
Dalam Pilgub DKI, Amien Rais dan Anies Baswedan waktu itu, juga tercatat pernah menggunakan frasa  "Perang Badar" sehari sebelum pemungutan suara, 18 April 2017.
Perang Badar adalah salah satu perang yang dianggap penting pada masa awal perkembangan agama Islam.
Dalam perang itu Rasulullah Muhammad SAW bersama ratusan umat Islam di Madinah berjuang mempertahankan eksistensi menghadapi serangan kaum kafir Quraisy dari Mekkah yang jumlahnya tiga kali lipat lebih besar. Jika kalah maka umat Islam dan agama Islam mungkin akan punah untuk  selamanya.
Sulit sekali memahami analogi Perang Badar kala itu dengan Pemilihan Gubernur DKI.
Di pihak Anies Baswedan yang didukung Amien Rais terdapat banyak umat non muslim sedangkan di barisan lawan beratnya, Basuki Tjahaja Purnama yang non muslim, juga terdapat banyak pendukung dari kalangan umat Islam.
Konteksnya adalah memilih pemimpin daerah secara administratif, bukan perang antara pihak muslim di satu sisi dengan kaum kafir di sisi yang lain.
Agak aneh memang, sebagai akademisi Prof. Amien Rais tidak mendorong publik untuk menggunakan wacana intelektual dalam memahami realitas politik. Dosen ilmu politik UGM ini sekarang cenderung menggunakan kalimat ofensif yang lebih pendek alih-alih mengedepankan argumentasi, data, dan fakta dalam beradu gagasan dengan lawan politiknya.
Sejak sekitar akhir tahun 90-an, Amien Rais mulai dikenal lewat tulisan-tulisannya yang kritis  di koran atau majalah. Lewat media cetak, pendiri PAN ini mengajak publik berpikir mengapa rezim orde baru harus ditumbangkan.
Sekarang, ketika era digital semakin menuntut kecepatan bertindak, cara-cara dan laku berpikir tertib tampak sudah ditinggalkannya.
Kerja mencerdaskan rakyat di dunia politik dengan mendorong penggunaan akal sehat memang kurang popular dan butuh kerja keras. Tidak semua politisi punya cukup waktu dan kesabaran merintis jalan terjal ini.
Dengan #2019pilpresceria semoga Mahfud MD bersama tokoh-tokoh lainnya mampu memberi warna pesta demokrasi kita dengan nuansa yang lebih cerdas dan beradab. Semoga.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H