Komoditas isu penderitaan warga naik harganya pada tahun-tahun politik.
Dari aktivis Ratna Sarumpaet yang merecoki kerja basarnas yang sedang bekerja, hingga Zulkifli Hasan yang mempersoalkan status bencana, seolah-olah korban diterlantarkan. Mengapa tidak turun tangan langsung saja memberi bantuan, melalui dana pribadi dan kegiatan donasi bencana seperti Elek Yo Band.
Menjelang Iedul Adha sepertinya jalan pikiran teori Ketum PAN itu harus diperiksa kembali.
Orang yang berkurban, seperti juga dalam melaksanakan ibadah haji, haruslah muslim yang berkelebihan.
Kalau miskin ya miskin saja, tidak boleh berpura-pura --utang sana utang sini-- untuk memaksakan diri agar bisa berkurban. Demikian juga orang kaya yang enggan berkurban dengan berpura-pura miskin, tercela dalam pandangan agama.
Abang penjual juga kelihatan riang, menjelaskan beragam jenis sapi, ciri-cirinya, harganya, hingga racikan pakan yang diberikan. Tidak terlihat raut sedih dari karyawan perusahaan yang katanya memiliki tempat penggemukkan ternak di Boyolali dan di Sentul, Bogor. Â
Sapi yang dijual di lahan kosong tepi jalan kawasan Pamulang ini berasal dari trah limousine, simmental, dan sapi lokal, sapi madura.
Mereka harus terurus dengan baik, dan pengurusannya diserahkan kepada peternak sekaligus penjual. Sehari sebelum dipotong bakda shalat Ied, barulah hewan yang beruntung itu diserahkan kepada pemiliknya.
Mengapa hewan ternak dikatakan berbahagia jika terpilih untuk dikurbankan?
Dalam pandangan Islam, makhluk hidup --hewan, tumbuhan, dan lainnya-- itu pada dasarnya senang jika dapat memberikan manfaat kepada manusia. Dan, mereka akan merasa jauh lebih senang lagi jika terpilih untuk menjadi sarana manusia dalam beribadah kepada Tuhan.
Tanduk, bulu, dan kuku hewan kurban akan bersaksi di hari kiamat. Bahkan sebelum jatuh menetes ke tanah, darah hewan kurban itu lebih dahulu sampai di suatu tempat di sisi Allah. Begitu disebut dalam satu keterangan hadits nabi.
Jika banyak orang kaya yang hartanya berkurang, tentunya penjualan hewan kurban juga seharusnya menurun, karena di Indonesia mayoritas muslim.
Faktanya, permintaan dan penjualan hewan ternak kurban justru meningkat pada tahun ini. Apakah para pekurban itu menggadaikan BPKB untuk membeli sapi? Jelas tidak masuk akal, karena Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk pura-pura mampu.
Sejak Juli lalu permintaan hewan kurban di beberapa daerah mengalami peningkatan. Â Juga beberapa hari menjelang lebaran, kenaikan penjualan hewan kurban juga dirasakan oleh para penjual. Meskipun juga tercatat ada yang mengalami penurunan.
Di  Pangkalpinang laporan menyebutkan ada kenaikan permintaan ternak kurban hingga 55%, terutama sapi lokal yaitu sapi lampung dan sapi madura. Omset penjualan seorang pedagang bisa mencapai Rp 500 juta.
Pemkot Jambi sementara itu menyatakan ada kenaikan jumlah hewan kurban yang disiapkan pada tahun ini. Pada tahun lalu, Pemkot Jambi menyediakan 86 ekor, sedangkan tahun ini ada 100 ekor yang akan dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Di Jawa, seorang pedagang di Jakarta mengaku bahwa tahun ini ada peningkatan 10% penjualan hewan kurban miliknya. Sedangkan kenaikan angka penjualan hewan kurban di Purwakarta persentasenya mencapai 30%, terjadi di pasar hewan Ciwareng.
Gejala apakah ini, orang-orang semakin miskin tetapi jumlah penjualan hewan kurban meningkat?
Jika memakai teori Zulkifli tentang rasio gini dalam pidatonya sebagai Ketua MPR, sulit rasanya menjelaskan fenomena ini. Tapi apa memang ada manfaatnya? Dalam politik yang terpenting adalah bunyi dulu, semakin nyaring isu semakin bagus, masalah isi tak perlu dirisaukan karena isu-isu selanjutnya sedang antri menunggu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H