Lepas tengah hari sepertinya tidak akan pernah menjadi waktu yang baik untuk mengadakan rapat.
Kami, 12 orang saat itu, hanya hilir mudik dalam kerumunan kata-kata yang tidak ada sari patinya, ngambang. Semakin kuat moderator rapat mengajak fokus, semakin kerap kami menguap. Sampai akhirnya seorang kawan melempar gagasan ke lantai, "Bagaimana kalau kita cari tempat lain saja?" , dan  langsung menjadi opsi pembahasan serius.
Tanpa banyak cincong akhirnya disepakati bahwa kami akan melanjutkan rapat di Baturraden, kurang lebih 13 km ke arah Gunung Slamet dari tempat sekarang. Kami bergerak saat itu juga menggunakan kendaraan umum, dengan semangat pengen cuci mata saja sebenarnya, meskipun tidak kami katakan secara terbuka.
Bukan berarti organisasi ada  dana untuk menyewa gedung yang cukup representatif di Baturraden sana. Kami hanyalah sekumpulan mahasiswa tanggung, -miskin ngga, miskin banget juga ngga- tentu punya cara masuk ke lokasi wisata favorit tesebut. Lewat jalan tikus, yang kami paham sebelah mana.
Cukup ramai di TKP saat itu. Setelah puas jalan-jalan (yang secara tak terkendali menjadi agenda tambahan) segera kami mencari ruang terbuka yang teduh dan agak sepi untuk menuntaskan niatan semula. Sayangnya lokasi untuk outdoor meeting itu tidak kunjung kami temukan.
Setelah melewati kebun binatang mini akhirnya terdesaklah kami menuju ke depan sebuah jembatan gantung. Di seberang sana, tepi hutan, suasana agak sepi pengunjung dan ada banyak pilihan tempat lapang di bawah rerimbunan pohon, mana suka boleh pilih.
Kami pun mendekat ke mulut jembatan kecil tersebut, tertegun. Sebatang kayu dipasang melintang dan papan tulisan terbaca di muka: "Jembatan rusak sedang dalam perbaikan, dilarang (nekat) lewat!"
Rapat singkat kami gelar dengan pembahasan: apakah kami jadi lewat jembatan gantung yang sudah lapuk itu, ataukah kami balik kanan. Agak tegang suasana. Matahari mulai condong ke barat.
Jika lanjut lewat, maka tersedia cukup waktu menyelesaikan tujuan awal kami ke situ. Sebaliknya, jika balik kanan mengambil jalan memutar, maka kami akan kehabisan tempo  sehingga perjalanan ini menjadi sia-sia.
Sebagian besar dari kami cukup berani untuk tidak mempermasalahkan kondisi  jembatan, toh bisa berpegangan pada pagar besi di kiri kanan jembatan gantung tersebut; ada beberapa yang abstain; dan lebih sedikit yang mengajukan opsi balik kanan. Yang terakhir kalah suara.
Akhirnya kami memutuskan lanjut, melewati jembatan gantung kecil tersebut, dengan catatan tebal bergaris bawah: berjalanlah dengan hati-hati, pegangan pada pagar jembatan kuat-kuat, dan jangan sekali-kali menengok ke bawah!
Meniti langkah demi langkah sambil berpegangan pada besi pengaman di samping, kami berjalan perlahan berurutan. Â Dari atas ketinggian di tengah jembatan saya melihat ke bawah, air sedang deras saat itu. Jarak dari jembatan hingga ke dasar sungai mungkin ada setinggi pohon kelapa. Jantung pun terasa berdegup kencang, darah berdesir, saya mengalihkan pandangan ke muka, menatap sisa langkah ke tepi sana. Â
Lega rasanya setelah tiba di seberang, kami semua selamat dan meneruskan langkah untuk menyelesaikan urusan rapat yang belum kelar.
Menjelang hari gelap, selesailah agenda bahasan terakhir dan kami pun berkemas. Mengambil jalan sebelumnya untuk pulang, hingga sesuatu kami sadari: kami harus menaklukkan jembatan gantung itu sekali lagi!
Sejenak kami menghela napas berat, tapi bukan lelah, setelah kami sampai di mulut jembatan sialan tersebut.
"Bagaimana, lanjut lagi atau cari jalan lain?" kata seorang kawan membuka percakapan.
Hari sudah semakin gelap, walaupun kami masih bisa melihat jalan setapak tanpa lampu penerang yang tidak kami bawa. Sungai di bawah sana agak lebih gemuruh terdengar menciutkan nyali.
Kali ini keputusan harus diambil melalui pertimbangan akal yang lebih waras.
Sebagian besar suara kini berbalik, hampir semuanya memilih untuk mengambil jalan memutar menuju  tempat pemberhentian kendaraan umum yang akan membawa kami pulang ke kota. Hanya 3 orang yang menolak opsi jalan memutar, saya dan 2 orang kawan. Rombongan pun lalu berpisah di tempat itu.
Sebelum menyeberang kami bertiga berdoa dalam diam, menenangkan diri. Dengan mantap langkah kaki kemudian diayun menginjak alas papan jembatan, satu demi satu. Kata orang Jawa: "Nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo wani-wani". Terjemahan bebasnya: Ragu-ragu, mundur!
Alhamdulillah, jembatan itu akhirnya kami taklukkan sekali lagi. Saya bersyukur dalam hati sambil bergegas menempuh sisa perjalanan pulang, dalam gelap yang kian malam.
Saya mengucap syukur dalam hati untuk yang kedua kalinya. Ternyata kasih sayang Tuhan telah menyelamatkan saya dari bahaya yang tidak sungguh-sungguh saya mengerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H