Frasa "balik kanan" dalam konteks menjelang Pilpres 2019 pertama diungkap Amien Rais saat mengomentari politisi pendukung aksi 212 yang masuk lingkaran istana. Amien Rais tidak menyebut siapa politisi tersebut, tetapi diduga kuat yang bersangkutan merujuk pada Ali Mochtar Ngabalin, politisi pendukung Gerakan 212, Â yang diangkat menjadi Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Kepresidenan.
Sebagaimana diketahui, Gerakan 212 bermetamorfosis menjadi Persaudaraan Alumni 212 (disingkat PA 212) dengan Slamet Maarif sebagai ketua. PA 212 adalah ormas biasa dan bukan partai politik namun memosisikan diri sebagai kubu oposisi terhadap pemerintah.
Pernyataan Amien:
"Assalamualaikum wr. wb. Saudara-saudaraku, di tahun politik ini,  sepertinya muncul sebuah fenomena baru, yaitu teman-teman yang mula-mula  nampak lurus, nampak tawaduk, nampak istikamah, tiba-tiba agak berbalik  kanan dan mengagetkan," kata Amien Rais dalam video yang di-posting di  akun Instagram-nya (amienraisofficial), Senin (4/6).
Dengan membalik logika, frasa "balik kanan" bisa juga ditujukan pada mereka yang berasal dari kubu Jokowi kemudian bergabung ke dalam kubu lawan politiknya. Sah-sah saja sebenarnya, wajar dan sangat normal.
Dalam iklim negara yang demokratis, setiap warga negara bebas menentukan pilihan. Yang tidak bagus adalah men-dikotomi pilihan politik menjadi kubu-kubu yang mengancam persatuan dan kesatuan NKRI, misalnya frasa "partai Allah" Vs. "partai setan".
Pasca (yang diduga) Ngabalin balik kanan dan sekarang menjadi corong pemerintah untuk membungkam komentar-komentar miring dari kubu oposisi, gelombang aksi balik kanan bukannya mereda malah justru tambah dahsyat.
Tuan Guru Bajang, mantan Bakal Capres versi PA 212
Namun, pernyataan terbuka TGB untuk mendukung Jokowi dua periode tidak hanya mengejutkan publik tetapi juga menyentak elit partainya daripada SBY. Ulama muda lulusan Al Azhar, Kairo, itu dianggap lancang mendahului keputusan partai karena tidak ada pembicaraan internal sebelumnya. Pada Pilpres 2014, TGB termasuk tokoh yang mendukung Prabowo Subianto.
Mengingat konstelasi partai-partai peserta pemilu 2019 yang tidak berkaitan dengan eksistensi kelompok 212 yang bukan partai, sebenarnya tidak relevan jika TGB sebagai kader Demokrat  dikategorikan politisi balik kanan.
TGB masuk kategori politisi  balik kanan karena posisinya sebagai capres  yang diusung Persaudaraan Alumni 212 bersama tokoh lain yaitu: Prabowo Subianto, Yusril Ihza Mahendra, Rizieq Shihab, dan Zulkifli Hasan.Â
Setelah pernyataan dukungan terhadap Jokowi, TGB langsung dicoret dari bursa capres versi 212.
Supendi Yusuf masuk Kandang Banteng
Menurut pengakuan Fahri sendiri, beberapa partai besar bersedia menampungnya andai harus hengkang dari PKS. Namun Fahri kelihatannya kurang srek dengan tawaran-tawaran tersebut, hal ini berkaitan dengan ikatan emosional Fahri sebagai co-founder PKS.
Yang loncat pagar justru kader yang lebih senior. Supendi Yusuf secara mengejutkan muncul sebagai caleg PDIP.Â
Posisi Supendi sebenarnya sudah dipecat PKS sejak 2010. Jika kepindahannya ke partai Islam yang lain tentu bukan hal yang mengejutkan, tetapi masuk PDIP yang secara ideologis berbeda dengan PKS adalah sesuatu yang luar biasa. Ada anggapan umum bahwa walaupun internal PKS bergejolak tetapi sikap tetap satu, menolak Jokowi di Pilpres 2019. Jadi Supendi Yusuf bisa masuk kategori politisi yang balik kanan.
Kapitera Ampera, dari pengacara Rizieq Shihab hingga jadi Caleg PDIP
Banyak yang tidak percaya ketika Kapitera Ampera diisukan masuk bursa Caleg PDIP. Namun, pada saat masih rumor yang belum jelas, wawancara Kapitera dengan detik.com sudah memperlihatkan gelagatnya yang hendak berubah haluan 180 derajat. Publik membaca beberapa pernyataan mengambang Kapitera yang seolah-olah mengiyakan kabar angin tersebut secara tersirat.Â
Kini, ketika Kapitera sudah terang menjadi Caleg PDIP Dapil Sumatera Barat, suara tokoh-tokoh PA 212 lantang berteriak: Kapitera berkhianat!
Keberhasilan Lobi Politik PDIP
Fenomena politisi oposan balik kanan bisa dimaknai sebagai keberhasilan lobi-lobi politik Jokowi sebagai petahana dan PDIP sebagai partai pengusungnya.
Sejak Pilpres 2014, PDIP dihantui oleh stigma pro Cina, anti Islam dan atau anti ulama. Fakta serangan isu-isu yang memojokkan PDIP sebagai sarang aktivis pro-neokomunisme tersebut rupanya telah berhasil meningkatkan kreativitas-kreativitas politik yang mengejutkan.
Sejauh ini sebenarnya Jokowi  telah dan terus menerus  menunjukkan kebijakan-kebijakan pro Islam. Kunjungan dan silaturahmi ke ulama-ulama dan pondok pesantren, penetapan Hari Santri, dukungan politik terhadap Palestina, mediasi di Afganistan, hingga bantuan untuk muslim Rohingnya, tidak bisa dianggap sebagai polesan pencitraan sesaat. Sikap Jokowi dalam hal ini tegas dan konsisten.
Walaupun demikian, apa yang sudah dilakukan Jokowi tidak menyebabkan stigma negatif terhadap PDIP itu hilang atau berkurang. Untuk itulah PDIP melakukan "naturalisasi" politisi-politisi oposan dan menempatkannya di posisi yang strategis.Â
Sehingga, ketika lawan memunculkan stigma-stigma negatif itu, yang menghadapi adalah mantan kawan-kawan oposan itu sendiri yang telah balik kanan. Suara-suara pembelaan terhadap Jokowi dari Ngabalin, TGB, dan bahkan Gus Romi (Romahurmuzy, Ketum PPP) telah berhasil mengikis sosok PDIP yang "merah" dan kini telah berubah "kehijau-hijauan".
Akankah fenomena balik kanan politisi-politisi oposan ini terus berlanjut? Mari kita tunggu sama-sama dengan riang gembira, siapa tahu ending-nya nanti Prabowo setuju untuk jadi Cawapres Jokowi. Pilpres 2019 adalah pesta demokrasi rakyat Indonesia, bukan Perang Badar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H