Dua tahun setelah proklamasi, 1947, kondisi Bangsa Indonesia masih kritis.  Akan tetapi daya hidup bangsa yang baru tumbuh ini tidak lunglai dan rapuh. Jiwa kepemimpinan dari sosok-sosok  negarawan berperan penting agar api kemerdekaan yang baru disulut kian menggelora. Salah satu teladan dari jiwa kepemimpinan itu telah ditunjukkan oleh Mohammad Hatta pada saat menyampaikan Khutbah Idul Fitri  di Bukittinggi tanggal 18 Agustus 1947.Â
Bung Hatta sebagai wakil presiden berada di Sumatera dalam waktu yang cukup lama, Â sejak awal Juni 1947 hingga 5 Februari 1948. Walaupun tengkuk Republik ada di bawah todongan bedil Belanda, Bung Hatta tidak menunda keberangkatan ke Sumatera mengingat betapa penting agenda itu. Â Misi utama kunjungan beliau ke Sumatera yaitu:
- meredam potensi perpecahan internal bangsa yang mulai timbul di Sumatera, termasuk kampung halaman beliau di Bukittinggi, dengan cara bertemu tokoh-tokoh perjuangan dan rakyat untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.
- mengantisipasi kemungkinan terburuk jika Belanda terus menerus menekan dan memblokade Pemerintah Republik Indonesia di Jawa, dengan menjadikan Sumatera sebagai pilihan basis perlawanan  selanjutnya.
Khutbah Hatta yang Humanis dan InklusifÂ
Walaupun latar belakang historis menunjukkan kegentingan masa kekacauan dan peperangan, khutbah Bung Hatta bukanlah pidato seorang sosok panglima perang. Pilihan kata dan kalimatnya tidak meledak-ledak, tetap jernih, sabar dan rasional.Â
Memang demikian harapan Hatta terhadap kondisi sosial politik masyarakat Sumatera. Khutbah Idul Fitri Bung Hatta sangatlah humanis dan inklusif. Senantiasa yang disampaikannya adalah universalitas persaudaraan, perdamaian, demokrasi, dan keadilan sosial sebagai dasar untuk melestarikan nilai-nilai kemanusiaan.Â
Beliau menarik  wawasan kaum muslimin Bukittinggi ke horison perjuangan bersama umat beragama di Indonesia, menarik perjuangan rakyat Indonesia ke cakrawala perjuangan umat manusia di dunia. Teks Khutbah Idul Fitri di Bukittinggi didokumentasikan dalam buku Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato III, 1985.Â
Menurut buku yang disusun oleh putri sulung (Farida Meutia Hatta) dan ex sekretaris pribadi beliau (I.  Wangsa Widjaja) tersebut, pada hari yang sama Bung Hatta juga menyampaikan Pidato peringatan dua tahun Kemerdekaan RI di kota yang sama. Informasi otentik ini cukup berharga untuk memperkirakan pada tanggal berapa, menurut kalender Hijriah, jatuhnya Hari Kemerdekaan kita. Berikut ini pokok-pokok pikiran dalam khutbah beliau.Â
1. Â Kewajiban sosial umat IslamÂ
Bung Hatta mengingatkan  esensi ibadah yang dilakukan kaum muslimin. Beliau mengingatkan bahwa puasa adalah latihan untuk menahan diri dari perbuatan tercela dan pembuka hati untuk melaksanakan kewajiban sosial. Kewajiban sosial tersebut dikaitkan pula dengan ibadah-ibadah yang lain yaitu zakat yang disebutnya sebagai 'pajak sosial' untuk berempati kepada yang kurang beruntung. Bermaaf-maafan di hari raya menjadi momentum pembebasan  dendam dan kesalahan antara sesama di masa lalu.Â
Salat 17 rakaat setiap hari juga memiliki makna pembersihan hati dan perbuatan umat Islam dari kejahatan yang merugikan masyarakat. Wudhu yang dikerjakan sebelum salat bermakna pembersihan mulut, panca indra dan anggota tubuh dari amarah dan niat-niat berbuat jahat. Sedangkan salam yang mengakhiri ibadah salat diterangkan beliau bahwa maksudnya adalah umat Islam harus menghadirkan damai ke seluruh alam.Â
Perdamaian harus menjadi dasar hidup dan sebagai syarat untuk mencapai kesejahteraan. Hatta meringkas dengan sindiran bahwa tidak seharusnya ibadah-ibadah itu hanya jadi kebiasaan saja sedangkan intisarinya sebagai latihan jasmani dan rohani ditinggalkan.
2. Keadilan dan kebenaran sebagai dasar dari perdamaian dan kesabaranÂ
Perdamaian yang dimaksud oleh Hatta adalah perdamaian yang berdasarkan kebenaran dan keadilan. Perdamaian seperti itu tidak diperoleh secara cuma-cuma tetapi harus diperjuangkan dengan keberanian dan tawakal kepada Allah. Umat Islam juga harus mencontoh teladan Rasulullah SAW dalam perjuangannya. Pesan ini berkaitan dengan sejarah rakyat Indonesia yang mengalami penderitaan selama penjajahan Belanda dan Jepang. Dalam hal ini Bung Hatta menyitir  Surat An Naml:34, terjemahannya:
"Sesungguhnya raja-raja (penjajah), apabila memasuki suatu kota (negeri) Â pasti mereka merusak-binasakan negeri itu dan menghina pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpinnya, dan begitulah mereka berbuat selama-lamanya".
Ayat ini ditujukan pula pada Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli, Â yang banyak menimbulkan kerusakan sekaligus menginjak-nginjak 17 pasal kesepakatan dalam Perjanjian Linggarjati.Â
3. Persaudaraan atas dasar persamaanÂ
Keluhuran pribadi Hatta tercermin pula dalam pernyataan bahwa: Kemerdekaan Indonesia adalah syarat bagi kita untuk mencapai perhubungan persaudaraan antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia. Hatta melihat jauh ke depan. Di depan bangsanya sendiri yang tertindas, beliau menganjurkan dan mengarahkan 'perhubungan persaudaraan' dengan bekas penindasnya: Belanda! Kontras sekali dengan kebijakan pemerintah Belanda yang senantiasa menganggap bangsa Indonesia sebagai bangsa jajahannya.Â
Cita-cita kemerdekaan Indonesia dan kebijakan luar negeri Indonesia dalam Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945 tidak pernah menyimpang dari perdamaian. Dalam hal ini Hatta secara implisit menyampaikan pembelaannya terhadap  kebijakan pemerintah untuk mengambil opsi diplomatik dalam penyelesaian sengketa dengan Belanda. Hatta melihat bangsa Indonesia dan Belanda sederajat untuk duduk setara di meja perundingan, oleh karena itu perang yang selalu meminta korban jiwa harus  dihindari.Â
4. Demokrasi ekonomi untuk menjamin keadilan sosialÂ
Sebagai ekonom sekaligus kepala negara, Bung Hatta menyebutkan beberapa pasal-pasal yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Pancasila dan UUD 1945 yang juga baru berumur 2 tahun tentu belum dikenal luas isi dan maksudnya di masyarakat. Pada kesempatan khutbah ini Hatta menjelaskan bahwa negara menjamin kesejahteraan dan demokrasi ekonomi seperti yang tercantum dalam pasal 33, pasal 27, dan pasal 34 UUD 1945.Â
5. Kejujuran dan tanggung jawab partai-partai politikÂ
Selama masa penjajahan, rakyat Indonesia tidak mendapat didikan politik. Tanggung jawab partai politik adalah untuk berjuang membangun negara di bawah pimpinan pemerintaha dan membangun semangat rakyat. Pertentangan partai dengan partai yang hebat dan berujung pada perang partai bisa merobohkan negara seperti yang dialami Perancis selama permulaan Perang Dunia II.Â
Apakah dan kepada siapa pernyataan itu ditujukan, apakah pernyataan ini mengacu pada revolusi-revolusi sosial di Sumatera, Hatta tidak merincinya. Beliau hanya mengambil contoh kasus Perancis untuk menyampaikan bahaya pertentangan antarpartai dan paham-paham yang dapat menjerumuskan keselamatan negara. Demokrasi yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia ketika itu dicemooh rakyat sebagai democrazy atau 'den mau kursi', untuk mengungkapkan bagaimana kekacauan politik saat itu. Pimpinan yang tidak tegas membuat rakyat tidak dapat membedakan demokrasi dan anarki.Â
Hatta juga dalam hal ini bersikap realistis dan menyampaikan otokritiknya. Pemerintahan yang baru, juga partai-partai politik belum memiliki pengalaman dan kecakapan. Solusinya sederhana saja menurut Hatta: kurang kecakapan dapat dicukupkan dengan pengalaman, kurang kesanggupan dapat dicukupkan dengan latihan, tetapi kurang kejujuran, susah memperbaikinya! Demikianlah yang disampaikan oleh Bung Hatta selaku khotib Idul Fitri.Â
Bagaimana berat dan susah kondisi saat itu digambarkan dalam pesan penutup khutbah. Beliau kembali menyitir Al Qur'an Surat Al Insyirah: 1-8 untuk mengajak hadirin bertawakal, bersemangat dan tidak gamang menghadapi persoalan.
Bukankah kami telah melapangkan dadamu, mengambil beban, yang berat menekan punggungmu, dan meletakkan engkau pada derajat yang tinggi? Sebab itu nyatalah, sehabis susah datanglah senang. Nyatalah, sehabis susah datanglah senang. Sebab itu, apabila engkau terlepas dari kesukaran, giatkanlah lagi usahamu. Dan jadikanlah Tuhanmu sebagai tujuanmu semata.
***
Khutbah yang berisi dari pribadi yang tulus, pemimpin bersahaja yang menyimpan guntingan iklan sepatu kulit tanpa pernah sempat membelinya hingga tutup usia. Tahun 1947 sudah lama berlalu, tetapi isi khutbah Bung Hatta tetap relevan jika disampaikan saat ini. Kami kehilanganmu, satu dari negarawan bangsa yang kini semakin langka ditemui.
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1432 H.
Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal yaa Kariim. Penulis juga mohon maaf lahir dan batin.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H