Â
Pada waktu itu, pengajaran masih dilakukan dengan sangat sederhana di surau-surau dan pondok pesantren tradisional yang hanya mengajarkan tentang materi keagamaan tanpa mengajarkan tentang ilmu pengetahuan umum. Didorong dengan kondisi ini, KH Ahmad Dahlan pun terpanggil untuk melakukan pembaruan dalam gerakan Islam di Indonesia. Adapun pembaruan yang dilakukan KH Ahmad Dahlan adalah mengambil peran dalam mengembangkan pendidikan Islam dengan melakukan pendekatan yang lebih modern. Gagasan pemikiran tersebut didapatkan ketika dia bermukim di Mekkah selama lima tahun untuk menimba ilmu agama sejak 1888 hingga 1903.[5]
Â
Berbeda dengan halnya KH. Hasyim Asy'ari, yang latar belakangnya berbasis pondok pesantren, yang pada masa itu masih menggunakan sistem pembelajaran tradisional. Namun untuk pemikiran, walaupun menggunakan sistem pembelajaran tradisional tidak kalah dengan pendidikan ilmu pengetahuan. Beliau menerapkan landasan aswaja di NU untuk menyeimbangkan kesetaraan pada kadar keilmuan. NU itu dulu memiliki nama lailatul ijtima'iyyah, dikarenakan para ulama pada masa itu berkumpul di malam hari membahas tentang agama. Beliau menerapkan budaya tradisional secara moderat tanpa adanya membawa keekstriman. Sebagaimana yang di katakan Imam Hasan Basri: "Mengedepankan Kultural Agama secara Moderat tanpa membawa keekstreman"
Â
Dari sinilah sudah terlihat bahwa pemikiran antara KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasym Asy'ari berbeda dari sisi tujuan untuk memberikan pembaharuan terhadap sejarah islam. KH. Ahmad Dahlan memiliki tujuan untuk mengajak kepada umat islam supaya selalu berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup, sementara KH. Hasyim Asy'ari itu juga tetap berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, namun beliau juga mengikuti para Empat Imam Madzhab yang menjadi landasan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.
      Kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perbedaan antara NU dan Muhammadiyah ialah bagaimana cara mereka berpandangan untuk memperbaharui sejarah islan di Indonesia. Setiap seseorang memiliki pemikiran masing-masing untuk merancang konsep-konsep kedepan dengan pendidikan yang ia pernah dapatkan, itu semua boleh jadi bisa diambil dari pengalaman-pengalaman selama mereka berpendidikan di luar negri yang pernah terkoneksi pemikirannya dengan yang lain, dan tentu ini menjadi bagian kenormalisasian terhadap umat islam yang mungkin pada masa itu masih terombang ambing dan tidak kunjung mendapatkan arah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H