Apa hubungannya kasus vaksin palsu dengan pembelian senjata ilegal oleh oknum Paspampres. Jelas berbeda dan tidak berhubungan tetapi keduanya sedang menjadi topik berita dan mendapat perhatian hingga tingkat kepresidenan. Keduanya dapat menjadi alat pembunuh walaupun mekanismenya beda, senjata api bisa langsung mematikan sedangkan vaksin palsu mungkin baru menyebabkan kematian setelah sekian waktu akibat tidak adanya efek imunitas.
Mungkin perlu dipahami perbedaan palsu dan ilegal karena keduanya serupa tapi tak sama, keduanya berkonotasi tidak baik. Sesuatu yang palsu pasti berbeda dengan aslinya, bentuk bisa sama persis tapi manfaat dan hasil yang diperoleh tidak akan pernah sama dengan aslinya. Vaksin palsu tidak akan pernah menimbulkan imunitas (kekebalan) seperti yang diharapkan dari tindakan vaksinasi.
Vaksinasi termasuk kategori obat (sediaan farmasi) yang efek manfaatnya tidak pernah dapat segera dirasakan, kalaupun ada efek justru efek samping yang timbul (tidak selalu ada). Sedangkan Ilegal berarti tidak menurut hukum, tidak sah. Sesuatu yang ilegal bisa dipastikan efeknya sama dengan aslinya karena MEMANG ASLI.
Senjata yang dibeli oknum paspampres pasti asli tidak mungkin palsu dan sekelas pasukan khusus pasti kebutuhannya yang terbaik bukan senjata abal-abal namun proses pembeliannya bermasalah, perijinannya tidak diurus dan diluar kewenangan untuk membeli langsung. Vaksin palsu pasti salah sejak awal produksi sedangkan Vaksin ilegal produksinya tidak ada masalah namun cara memperolehnya tidak sesuai aturan.
Palsu kok 13 tahun ?
Mengapa vaksin palsu bisa berlangsung selama 13 tahun ? Tentu ada peluang yang bisa dimanfaatkan pelaku dan sisi "keamanan" yang menjaga modus operandi ini tetap rapi terjaga. Kalau ada yang asli mengapa pakai yang palsu ? Dokter tidak akan pernah mau menggunakan seandainya tahu vaksin yang dipakai palsu. Begitupula pihak RS tentu akan menolak jika tahu vaksinnya palsu !Mengapa beli yang ilegal ? Seringkali kita memilih membeli barang bukan dari distributor resmi karena harganya lebih miring toh kualitasnya sama.
Dalam kasus vaksin, kebutuhan tinggi yang tidak diimbangi stok dan distribusi yang baik tentu menjadi alasan mencari peluang distribusi lain yang bisa memenuhi kebutuhan vaksin. Pembelian legal tidak menjamin asli, ditengarai kemungkinan distribusi vaksin palsu mengikut distribusi vaksin asli. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas ketersediaan vaksin?
Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan vaksin (imunisasi wajib) dan BPOM bertugas melakukan pengawasan vaksin seperti halnya terhadap makanan dan obat-obat lainnya. Kalau membeli secara legal apakah ada kemungkinan asli ? Kalau membelinya tidak langsung dari distributor (lewat apotik) pasti palsu ? Bagaimana membedakan asli dan palsu ? Jangankan pihak farmasi RS dan dokter, pihak Kemkes dan BPOM saja tidak mudah mengidentifikasinya.
Paspampres kok beli senjata ilegal ?
Terkait dengan senjata ilegal yang dibeli oknum paspampres, sudah sangat jelas aturannya bahwa anggota TNI tidak boleh memiliki senjata yang dibeli secara pribadi walaupun hanya untuk latihan. Tidak mungkin sekelas Paspampres tidak memahami aturan perundang-undangan tentang senjata api di Indonesia apalagi saat ini rawan penyalahgunaan senjata api. Secara aturan, proses pembelian dan administrasinya mestinya sangat jelas, pembelian dan kepemilikan hanya atas nama institusi.
Penjual dan perantaranya saat ini sedang menjalani proses hukum di AS, namun oknum Paspampres masih tetap bertugas dan pihak TNI sangat solid menyelesaikan kasus ini secara internal. Sanksi administrasi dan disiplin dijanjikan akan diberikan atasan langsung, kemudian apakah berlanjut dengan proses hukum? Mungkin bukan urusan kita untuk membahasnya namun tentu ada kebutuhan internal mereka yang “memaksa” mereka membeli di jalur yang beresiko.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan kasus ini? TNI dan kepresidenan dengan baik meredakan ketegangan agar publik tidak berpolemik dan terus melakukan investigasi internal. Mungkin suatu saat kasus senjata ilegal ini harus dibuka ke publik sebagai pembelajaran dan tentunya sebagai wujud rasa keadilan.
Dokter Pelaku atau Korban ?
Hukuman seberat-beratnya untuk pembuat dan pengedar serta siapa saja termasuk oknum tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, apoteker) yang membantu pembuatan dan peredaran vaksin palsu, namun bagi dokter yang menyuntikkan dan tenaga kesehatan lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan vaksin palsu tentunya harus dipertimbangkan apakah mereka juga termasuk pelaku atau korban. Perlu investigasi lebih mendalam keterlibatan mereka, dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah dan semestinya pemerintah (Kemenkes & BPOM) tidak terburu-buru mengumumkan ke publik yang justru menimbulkan kegelisahan dan chaos.
Timbullah masalah baru, bukan sekedar tidak percaya dengan RS atau dokter tetapi timbul konflik horisontal yang tidak perlu. Kembali dokter menjadi kambing hitam atas buruknya sistem pelayanan kesehatan ! Kemana saja pemerintah (Kemenkes & BPOM) selama ini, apakah mereka sudah benar-benar menjalankan tugasnya dalam regulasi maupun pengawasan? Terkesan pemerintah justru mengalihkan kesalahan mereka pada dokter dan RS.
Pengumuman menteri kesehatan tentang fasilitas kesehatan yang menggunakan vaksin palsu seakan menjadi provokasi kepada masyarakat awam untuk “menyerang” fasilitas kesehatan tersebut. Coba bandingkan bagaimana TNI bahkan Wapres memberikan pernyataan yang menenangkan pada kasus senjata api ilegal. Diharapkan organisasi profesi (IDI, IDAI) juga mengambil peran aktif dengan melindungi anggotanya yang juga sekedar korban, bukan hanya diam atau justru membuat pernyataan yang membingungkan !
Reaktif atau Diam ?
Sudah banyak RS yang didatangi oleh masyarakat bahkan timbul anarki walaupun RS menyatakan akan bertanggungjawab. Sudah ada dokter yang mengalami tindak kekerasan dan ada 3 dokter yang dijadikan tersangka. Apakah profesi dokter membiarkan saja proses ini berlangsung ? Mungkin pelakunya dapat diadili tapi apakah mafia obat dan mafia-mafia lain yang mengambil keuntungan dari BOBROKNYA SISTEM KESEHATAN NEGERI INI akan hilang dengan sendirinya? Kejahatan timbul karena ada peluang dan lemahnya pengawasan.
Mafia ini bermain di tingkat pembuat kebijakan (legislatif, eksekutif bahkan mungkin yudikatif), produksi maupun distribusi, mungkin pula importir. Jangan hanya terjebak dengan pemain kecil dan pelaksana dilapangan, memang paling mudah menjadikan dokter dan nakes lain yang berhadapan langsung dengan pasien sebagai pelaku.
Kericuhan vaksin palsu tentu akan mengundang ketidakpercayaan publik pada sektor kesehatan domestik. Bukan tidak mungkin RS asing bahkan negara asing akan memanfaatkan kondisi ini. Tentu akan timbul dampak domino terhadap jenis pelayanan kesehatan lainnya, akan makin banyak peluang asing menguasai sektor kesehatan kita secara ekonomi maupun politik dan pada akhirnya akan melemahkan Ketahanan Nasional.
Negara tentunya tidak boleh berlepas tangan dari tanggung jawab melindungi rakyatnya. Pemerintah jelas-jelas bersalah dan layak dituntut sebagai penanggung jawab atas segala kekisruhan ini. Politikus sudah saatnya taubat setelah memanfaatkan kesehatan untuk kepentingan politiknya.
Dokter TIDAK PANTAS HANYA DIAM SAJA karena sudah terlalu banyak dimanfaatkan, disudutkan bahkan dijadikan pelaku secara langsung carut marut kesehatan di tanah air. Bergerak bersama-sama, bersatu kembali menegakkan eksistensi profesi, membenahi dan membentengi diri agar kemuliaan profesi tetap terjaga.
Masyarakat perlu tahu bahwa sebenarnya kasus vaksin palsu adalah puncak gunung es permasalahan kesehatan yang timbul justru karena hilangnya peran negara ! Ketidakadilan ini bukan tidak mungkin memicu sikap apatis bahkan defensive yang akan selalu merugikan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H