Mohon tunggu...
Agung Prabowo
Agung Prabowo Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Geber (Gerakan Bersama) Melawan Hoaks

4 Agustus 2018   18:44 Diperbarui: 4 Agustus 2018   18:57 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hoaks (berita palsu) merupakan permasalahan sensitif yang tidak hanya terjadi di Indonesia yang memicu perhatian serta kekhawatiran serius berbagai kalangan dan Pemerintah, tetapi juga marak dan menjamur di Negara lain. Contohnya saja seperti di China, India, Amerika, Rusia, Jerman, Uni Eropa, dan sejumlah Negara di Asia Tenggara seperti di Malaysia.

Menyadari permasalahan tersebut yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Bangsa, tentu Pemerintah tidak hanya tinggal diam. Selain melakukan penegakkan hukum bersama Kepolisian, beberapa kebijakan dan program Pemerintah dalam melawan hoaks terus digalakkan secara masif.

Ambil contoh seperti Siber Kreasi yang menggandeng berbagai komunitas dalam mengupayakan literasi digital di tengah masyarakat dan di berbagai sektor, terutama di bidang pendidikan yaitu dengan mendorong dimasukkannya materi literasi digital pada kurikulum formal. Dan kebijakan Pemerintah lainnya yang patut diapresiasi yaitu mencoba menggandeng platform digital raksasa dunia seperti Facebook, dan laman pencari Google dalam mengupayakan pemberantasan hoaks.

Tanpa mengurangi rasa hormat, mari berandai-andai jika aku jadi Menag (sesaat). Hoaks (berita palsu) tidak akan mudah untuk diberantas dalam sekejap saja, pasti butuh proses dan waktu yang tidak sebentar. Bahkan hoaks mungkin akan terus berulang dan tidak akan pernah habis jumlahnya, selama "obat" kebijakan melawan hoaks tidak dibarengi dengan penegakkan hukum, dan literasi digital tidak diterapkan sejak dini mulai dari bangku sekolah dasar. Ibarat orang sakit, pasti membutuhkan obat untuk bisa sembuh, dan tentunya juga dibarengi dengan pola hidup sehat agar tak mudah jatuh sakit kedepannya.

"Obat" melawan hoaks akan lebih baik jika dimulai dari hulu ke hilir, yang juga diikuti dengan peraturan hukum yang tepat, penegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan pendidikan literasi digital yang baik. Permasalahan hoaks ini juga membutuhkan kerja sama antar elemen bangsa, seperti antar Kementerian, Kepolisian, dan juga Lembaga-lembaga lainnya yang berkepentingan. Adapun kebijakan Negara lain dalam melawan hoaks patut dicontoh, dengan catatan tidak menimbulkan kegaduhan dan kontroversi, dan selama masih bisa diterapkan di Indonesia.

Berandai-andai jika aku jadi Menag, berikut secara garis besar langkah-langkah yang mungkin dapat ditempuh untuk melawan hoaks :

Pertama, Kemenag (Kementerian Agama) dirasa sangat perlu membentuk Tim Cyber Anti Hoaks tersendiri, seperti halnya Tim Cyber Anti Narkoba dan Radikalisme yang telah dibentuk oleh Kemenag melalui Ditjen Bimas Islam. Fungsi dari Tim Cyber Anti Hoaks ini bertujuan untuk melakukan kontrol serta pengawasan, dan juga melakukan filter terhadap konten internet yang terindikasi hoaks yang berpotensi meresahkan dan memecah belah masyarakat.

Peran dan fungsi lainnya dari Tim Cyber Anti Hoaks adalah dengan aktif bermedia sosial. Selain aktif memberi informasi tentang seputar Kementerian Agama, juga aktif berkampanye bijak bermedia sosial, dan memberi informasi materi seputar hoaks secara terjadwal. Hal ini harus dilakukan rutin setiap harinya. Dengan aktif bermedia sosial, akan tercipta interaksi dua arah atau tanya jawab antara Kemenag dengan warganet (netizen). Sehingga diharapkan tujuan Kemenag untuk mengajak masyarakat melawan hoaks dapat tercapai.

Selain itu, peran dan fungsi Tim Cyber Anti Hoaks juga menangani aduan dari masyarakat tentang berita-berita yang meresahkan yang teridentifikasi sebagai berita hoaks. Layanan pengaduan ini bisa melalui email resmi Kemenag, Chat di Website Kemenag, platform chat online, SMS, atau melalui sambungan telepon. Dengan disediakannya layanan pengaduan online oleh Kemenag, maka diharapkan informasi pengaduan yang bersumber dari masyarakat ini dapat dijadikan database yang dapat ditindaklanjuti oleh Kemenag untuk secepatnya ditangani agar berita hoaks tidak meluas dan meresahkan masyarakat.   

Kedua, menjalin sinergi dan kerjasama dengan Kementerian lain. Dengan menjalin kerjasama antar Kementerian, secara tidak langsung Negara hadir dan ikut turun tangan dalam pemberantasan hoaks. Selain itu, tugas Kementerian Agama dalam melawan hoaks dan ujaran kebencian akan semakin leluasa dan mudah. Contoh kerjasama yang dapat dilakukan adalah dengan Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika). 

Kerjasama ini bisa secara bersama-sama merumuskan aturan undang-undang mengenai penggunaan teknologi informasi dalam kaitannya dengan fungsi Kemenag, yaitu pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan dan pendidikan keagamaan. Bentuk kerjasama lainnya dengan Kominfo, diberikannya hak akses kepada Kemenag khususnya Tim Cyber Anti Hoaks untuk dapat leluasa melakukan kontrol dan pengawasan, serta filter terhadap semua konten internet.

Kemenag juga dapat menjalin sinergi dan kerjasama dengan Kemendikbud. Bentuk kerjasama meliputi dimasukkannya materi literasi digital pada kurikulum formal. Dan juga secara periodik rutin dilakukan penyuluhan literasi edukasi digital kepada anak-anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Selain itu, Kemenag juga bisa menjalin kerjasama dengan Universitas Negeri atau Swasta, dengan diadakannya seminar gratis tentang literasi edukasi digital di kampus-kampus.

Ketiga, menjalin kerjasama dengan platform digital raksasa dunia seperti Facebook, Twitter, Instagram, Google, dll. Bentuk kerjasama ini perlu melibatkan Pemerintah Pusat. Setelah Pemerintah Pusat mencapai kesepakatan kerjasama dengan platform digital raksasa dunia. Dalam konteks melawan hoaks, peran dan fungsinya bisa diwakilkan oleh Kominfo dan Kemenag.

Belajar dari Negara Jerman yang membuat RUU Sosial Media, perlu juga diatur kebijakan yang dimuat dalam Undang-undang mengenai besaran denda bagi platform digital yang membiarkan konten negatif yang terindikasi hoaks terus muncul dan tidak dihapus. Adapun RUU Sosial Media Jerman memberikan tenggat waktu 24 jam kepada Perusahaan platform digital untuk menghapus konten digital yang terindikasi hoaks, dan jika tidak akan menghadapi denda sebesar 50 juta Euro. Meskipun RUU Sosial Media ini kontroversial di Negara Jerman karena mengekang kebebasan berpendapat, kebijakan ini mungkin bisa diterapkan di Indonesia namun dengan penyesuaian tertentu sehingga tidak menjadi kontroversial.  

Keempat, Kemenag dirasa sangat perlu memaksimalkan peran internal Kementerian Agama, seperti penyuluh binaan Kementerian Agama untuk dapat mensosialisasikan literasi edukasi digital di tingkat kecamatan, kelurahan maupun desa. Peran internal Kementerian Agama diperlukan untuk dapat merangkul tokoh setempat yaitu Kepala RW, RT, tokoh ulama setempat, tokoh umat beragama, dan majelis-majelis taklim yang berada di setiap sudut desa. Tokoh-tokoh setempat itu nantinya diharapkan dapat merangkul masyarakatnya. 

Adapun literasi edukasi digital ini harus rutin dilakukan misalnya setiap minggu di seluruh desa. Selain itu, Kemenag juga perlu merangkul para santri di seluruh pesantren, dan juga seluruh komunitas yang ada untuk mensosialisasikan literasi digital yang baik dan benar. Hal ini sebagai bentuk pencegahan dengan tujuan agar masyarakat diinformasikan bagaimana caranya dalam menyikapi berita hoaks yang dapat meresahkan dan mengadu domba masyarakat. Hasilnya diharapkan berita hoaks takkan mudah dipercaya, atau ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, dan bahkan disebarluaskan hingga menjadi viral.

Kelima, seperti halnya kebijakan Negara China dalam memberantas hoaks. Kebijakan lainnya secara global yang dapat diatur mekanismenya bersama Kemenag dengan Kominfo dan Pemerintah Pusat yaitu dengan tidak diperbolehkannya pengguna internet mendaftar atau memposting di dunia maya secara anonim. Untuk mendaftar di platform media sosial, diperlukan verifikasi data dengan menggunakan nomor ponsel. Dengan nomor ponsel yang terhubung dengan identitas kependudukan sipil, maka langkah ini diharapkan bisa mencegah beredarnya berita hoaks yang disebarkan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Seluruh kebijakan yang dibuat untuk melawan hoaks perlu didukung oleh aparat penegak hukum yaitu Kepolisian, dengan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Sehingga dengan demikian, orang-orang akan berpikir berkali-kali untuk menyebarkan berita yang dapat meresahkan, mengganggu ketertiban umum, maupun berita hoaks yang tidak jelas kebenarannya.

Semoga saja langkah-langkah dalam melawan hoaks jika aku menjadi Kemenag ini bisa terealisasi. Tentunya dengan penyesuaian, baik secara mekanisme dan panduannya. Sehingga dapat diterapkan di Indonesia dan tidak menimbulkan kontroversi.

"Kebebasan berpendapat sesungguhnya bukanlah kebebasan berkomentar sesuka hati. Melainkan kebebasan berpendapat untuk berkomentar dengan penuh tanggung jawab."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun