Beberapa waktu yang lalu kita disuguhkan polemik terkait naturalisasi pemain timnas yang diminta oleh coach Shin Tae-yong. Project naturalisasi yang awalnya bertujuan untuk percepatan visi Timnas berprestasi di tingkat Asia dan Dunia, malah menjadi polemic dan kontroversi dalam masyarakat.
Awalnya banyak yang tidak mengerti bahwa naturalisasi kali ini berbeda dengan edisi terdahulu, yang terkesan asal pemain asing asing berprestasi di Liga Indonesia, ditawari pindah warganegara. Saat ini, sesuai dengan permintaan coach Sin Tae Yong, hanya pemain yang berdarah Indonesia yang bermain di Liga kasta tertinggi Eropa, Jepang, Korea yang ditawarkan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
Menariknya tidak hanya komentar masyarakat, namun ada juga pendapat mantan pemain timnas, Bagus Kahfi, pemain FC Utrech, yang berkometar bahwa naturalisasi ini tidak perlu, karena jumlah penduduk kita lebih dari 250 juta jiwa. Pendapat klasik yang tidak masuk akal, karena hanya berapa persen dari jumlah penduduk kita yang bermain bola, dan dari pemain bola itu berapa yang dianggap layak untuk mengangkat prestasi timnas di kancah Asia dan dunia, apalagi jika kita hanya memantau dari Liga lokal kita yang sarat dengan masalah? Wajarlah jika akhirnya mendapat bullyan berhari hari dari netizen di sosial media. Bahkan Haruna, sebagai satu anggota exco PSSI pun, tampaknya berseberangan dengan keinginan Sin Tae Yong sebagai pelatih timnas Indonesia untuk menambah amunisi timnas dengan mencari pemain keturunan yang bermain di Eropa.
Daftar polemik ini tampaknya akan semakin panjang daftarnya setelah Akmal, ketua SOS terlibat adu argumentasi dengan Hasani Abulgani, sebagai salah satu anggota exco PSSI yang berperan penting dalam kesuksesan membawa pemain terbaik berdarah Indonesia dari benua biru.
Memang akan selalu ada pro dan kontra terkait pemain keturunan ini, namun jika kita melihat lebih jauh ke depan, bahwa jika kita berhasil mendapatkan pemain-pemain keturunan terbaik yang bermain di Liga Liga atas Eropa, Jepang maupun Korea, perestasi timnas dengan sendirinya akan terangkat. Karena kita tidak bisa lagi berharap pada pemain timnas, yang hanya bermain di Liga Indonesia. Liga yang masih jauh dari berprestasi ditingkat regional maupun asia, dengan jadwal belum pasti, saat ini malah diramaikan dengan perkelahian, soal ketidak tegasan wasit dan kemungkian juga pengaturan skor pada kasus terbaru, Bruno Casimir.
Mari kita belajar dari timnas Prancis, peraih 2 gelar juara Piala Dunia, 2 gelar Piala Eropa dan 2 gelar Piala Konfederasi yang banyak dihuni pemain pemain keturunan. Prestasi yang sangat hebat ini tentunya bisa diraih setelah Les bleus terbuka dan menerima pemain keturunan baik dari Afrika maupun Asia. Padahal periode tahun 1960-1974 adalah masa kelam buat sepakbola Prancis, karena mereka gagal menembus Piala Dunia maupun Piala Eropa.
Kegagalan itu akhirnya menyadarkan federasi sepakbola Prancis, FFF untuk membuat banyak akademi sepakbola. Akademi sepakbola pertama di Prancis adalah Institut National du Football. Dari sanalah kemudian lahir pemain pemain muda bertalenta luar biasa. Salah satu generasi emas Prancis adalah Zenedine Zidane, pemain berdarah Aljazair yang membawa Prancis meraih gelar Piala Dunia 1998 dan juga Piala Konfederasi 2001 dan 2003. Gelar juara tahun 1998 juga disebut sebagai penyatuan pemain Prancis dengan pemain keturunan yang memang kebanyakan imigran.
Saat ini tercatat ada 15 pemain keturunan dalam timnas Prancis, bahkan mendominasi jika dibandingkan dengan pemain berdarah asli Prancis. Mulai dibawah mistar gawang ada Hugo Loris, namun dibangku cadangan ada sosok kiper berdarah kongo, Steve Mandada. Kemudian juga pemain muda terbaik Piala Dunia 2018, Kylian Mbappe, striker muda haus gol timnas Prancis keturunan Kamerun. Adajuga Paul Pogba gelandang timnas Prancis yang bermain di Manchester United, mempunyai seorang ibu yang kelahiran Kongo. “Mereka adalah orang-orang Prancis dan bangga menjadi orang Prancis, walau punya keterikatan dengan negara negara Afrika” demikian menurut pelatih timnas Prancis, Didier Deschamp.