Mohon tunggu...
dr Agung Budisatria MM
dr Agung Budisatria MM Mohon Tunggu... Dokter - Melayani dan membagikan untuk perubahan dan kemajuan bangsa

Melayani dan membagikan untuk perubahan dan kemajuan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamatkan Anak-anak Generasi Z melalui Pendidikan Dasar yang Benar

31 Oktober 2017   14:23 Diperbarui: 29 Juni 2018   11:03 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Mengamati sistem Pendidikan anak anak SD saat ini yang sudah masuk dalam generasi Z, artinya  anak yang lahir tahun 1993 (Badan Statistik Canada), tahun 1995 (Mc Crindle research centre) atau MTV menyebutkan anak yang lahir selepas tahun 2000.  Di Indonesia sendiri generasi Z dianggap lahir pada tahun 1995, setelah internet dikomersilkan pada tahun 1994.  

Terlepas dari perbedaan tahun tersebut, anak anak kita yang lahir di tahun tersebut, generasi Z adalah orang orang yang lahir di generasi Internet, generasi yang menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet.  Internet mampu melakukan segala sesuatu, mempermudah suatu pekerjaan sehingga disebut Internet of Thing (IOT).  

Generasi ini sedikit berbeda dari generasi milenial yang lahir sebelumnya, dimana generasi milenial ini seperti menikmati dan berdiri di dua sisi, disatu sisi mereka masih bisa menikmati produk yang lahir di generasi tahun 90 seperti contohnya bioskop, sedangkan pada generasi Z, menikmati Netflix dan Virtual Realty jauh lebih menarik.  Generasi Z adalah generasi yang paling beragam dan unik, menurut Connor Blakley, konsultan khusus generasi Z yang masih berusia 17 tahun.  

Dalam dunia kerja sering terjadi kesalahan dalam menyamakan generasi Milenial dan Generasi Z, karena agenerasi Z ini lebih beragam dibandingkan dengan generasi Milenial, sehingga akan mengakibatkan ketidakberhasilan dalam dunia usaha.  Penulis dalam hal ini akan lebih menitikberatkan dalam dunia pendidikan sekolah dasar generasi Z, bukan dunia kerja yang sudah banyak di ulas di berbagai media. Keinginan mengulas generasi Z ini timbul setelah berdiskusi dalam perjalanan menuju tempat kerja.  

Kenapa susah sekali berbicara dengan anak setingkat SD dengan generasi Z?   Kenapa generasi Z seolah meniadakan tatakrama yang selama ini dianut oleh kedua orang tuanya? Apa peran dari sekolah terhadap hal ini? Adakah perubahan kurikulum sekolah dasar sudah mengadopsi generasi Z? 

Sebagai orang tua kita mengamati adanya perubahan besar, atau bisa kita sebut radikal jika dibandingkan jaman kita dulu sebagai orang tua yang dari generasi X.  Generasi kita dulu yang hanya menerima informasi satu arah, dari orang tua, koran, radio, televisi( bahkan masih dimonopoli era TVRI) sehingga berita yang diterima masih relative sama.  

Sebagai orang tua saat itu mungkin lebih mudah untuk dalam memberikan arahan, nasehat maupun bimbingan karena informasi yang seragam, hampir sama.  Sedangkan saat ini, saat anak-anak kita generasi Z, menerima serbuan informasi dalam jumlah yang masif, baik informasi yang layak, bersifat membangun,  maupun informasi bersifat destruktif.  Kadang informasi yang bersifat destruktif ini jumlahnya lebih banyak, baik dari teman sekolah, media televise maupun internet. 

Anak setingkat sekolah dasar dari generasi Z ini, terbilang unik dan sangat beragam, mereka dengan santainya menikmati streaming video music, youtube dibandingkan pelajaran mereka di sekolah.  Mereka juga berani mengungkapkan pendapatnya ke orang lain jika mereka anggap pendapatnya benar.  Bahkan mereka berani mempertahankan pendapatnya yang salah kepada orang tuanya dengan mengeluarkan argument yang sangat tajam dan penuh kritik.  

Contoh seorang ibu berkata seorang anak untuk membereskan sepatunya saat pulang sekolah; " Nisa tolong dong sepatunya dibereskan, karena tadi mama sampai mau jatuh karena ada sepatu kamu di depan pintu"  jawab Nisa;" iya ma tenang aja, nanti juga Nisa beresin, tadi mau Nisa beresin rak sepatunya penuh,..lagian mama jalan koq gak lihat ada sepatu disitu, harusnya kan lebih hati-hati"   Padahal hal itu setelah Nisa sudah disuruh mamanya berkali kali, dan tidak langsung dikerjakannya.  

Hal menarik yang bisa diangkat dari contoh diatas adalah: 1. Anak generasi Z berani untuk menjawab atau melontarkan gagasan, pendapat, pemikiran, entah itu bersifat konstruktif atau destruktif.  2.  Anak kehilangan tatakrama, santun kepada orangtuanya, padahal sudah berulang kali diajarkan di rumah. 3. Anak tidak mau langsung mengakui kesalahannya, tapi cenderung mencari jalan lain, yang akhirnya membalikkan fakta dengan menyalahkan orang lain.  

Saya percaya tentunya kita sebagai sisa-sisa generasi X yang sudah diajarkan sopan santun, dari orang tua kita dulu, kita juga sudah mengajarkannya kepada anak kita juga.  Suatu saat tanpa kita duga anak kita menanyakan hal yang sangat tidak pantas diucapkan," ... itu artinya apa ya mama, karena tadi teman Nisa ngomong hal itu?"  

Penulis mencoba mengangkat hal ini karena penulis sangat prihatin dengan kejadian ini.   Tiap hari bahkan sebelum tidur selalu dinasehatkan hal yang baik, perkataan yang baik, tidak pernah menonton acara sinetron, menonton TV, HP dibatasi dan selalu didampingi.  Ternyata pengaruh dari luar, dari temannya lebih besar dari dirumah.  

Beruntung kami membiasakan anak kami berbicara jujur, terbuka sama orang tuanya, sehingga kami tahu, perkataan-perkataan kotor itu dari siapa, temannya, kami sebagai orang tua tahu.  Yang kami shock itu adalah yang belum pantas sudah jadi komoditas kelas 6 SD?! Bagaimana peran guru disekolah membantu mengatasi hal ini,itu yang perlu kita amati lebih jauh.

Ketika melihat sistem Pendidikan negara lain agar kita dapat membandingkannya sendiri, mengambil sisi positifnya atau merombak total sistem Pendidikan dasar kita. Jepang sebagai negara asia yang maju dan terkenal dengan karakter yang kuat tentunya tidak lepas dari pondasi yang ditanamkan pada Pendidikan dasar (shougakkou).  

Dari berbagai sumber, didapatkan bahwa sekolah dasar di Jepang, lebih menanamkan pendidikan karakter atau moral.  Karena dipercaya bahwa karakter suatu bangsa itu by design buat tanpa kesengajaan.  Aspek yang diajarkan meliputi, menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, menghargai kelompok dan menghargai lingkungan.  Seringkali anak-anak SD Jepang diajarkan bagaimana berperilaku saat di kereta atau kendaraan umum lain, untuk tidak ngobrol dan juga bagaimana menghargai orang lain. 

Mereka juga diajarkan bagaimana mengantre, membersihkan toilet, mencuci piring sendiri setelah makan.  Jadi mereka tidak dijejali materi pelajaran menghafal dan matematika yang sulit tingkat dewa dengan soal yang menjebak.  Jika ada pelajaran matematika mereka diberikan kebebasan bagaimana menemukan proses menjawabnya.  

Sebagai contoh guru akan memberikan 1 contoh soal dan membiarkan anak mencari jawabannnya sendiri dengan berkelompok.  Dan guru di Jepang tidak akan menyalahkan jawaban anak asuhnya, tetapi proses yang akan dilihatnya.  Guru akan mentolerir semua jawaban karena yang dilihat prosesnya, bukan target harus mencapai misal mendapatkan nilai 100 dengan memberitahukan jawabannya (khas di Indonesia).  Mempelajari matematika menjadi hal yang menyenagkan di Jepang, karena selalu dihubungkan dengan kondisi dalam kehidupan nyata.  

Di Jepang juga tidak ada ujian kenaikan kelas dan ujian akhir untuk SD dan SMP, karena SD dan SMP masuk dalam compulsory education, wajib buat masyarakat jepang.   Jadi itulah yang di tanamkan di Jepang, yang tidak mengenal ranking disekolah tapi lebih pada pendidikan karakter, moral dan kemandirian.  Selain jepang, di Asia ada satu negara Eropa dengan sistem Pendidikan terbaik didunia yaitu Finlandia.  

Finlandia hanya menerapkan 5 jam pelajaran  perhari untuk tingkatan SD dan SMP.  Pelajaran yang santai dan tidak membebani siswa, tidak mengenal ujian akhir sama sekali untuk SD dan SMP.  Karena guru-guru dipercaya tahu kualitas para muridnya sendiri.  Mereka selalu diajarkan etika, tatakrama dan bagaimana memecahkan masalah yang ada, bahkan untuk SMP maupun SMA mereka bisa memilih mata pelajaran sesuai minat mereka sendiri. Jadi mereka masuk sekolah dengan hati yang senang bahkan menanti pelajaran yang akan didapat. Bukan seperti disini anak kelas 6 SD diajarkan materi pelajaran PPKN tentang berapa jumlah komisi di DPR, fungsinya harus hapal?! Buat apa ya?

Nah, dari dua contoh tadi bisa kita simpulkan untuk Pendidikan dasar target mencapai nilai tertentu, rangking tidak perlu, karena ini hanya akan menciptakan sejumlah anak pintar dan sejumlah anak bodoh.  Kalau saya menyinggung hal seperti ini ke orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di SD swasta" terbaik" di Jakarta, yang beberapa siswa jadi juara olimpiade matematika, pasti akan dianggap aneh, karena jiwa kompetisi anak harus ditumbuhkan dari kecil, ikut bimbel, les Kumon, dll.  Itulah rata rata jawaban yang saya terima dari orang tua murid, yang menyetujui sistem disini yang sangat berat buat anak mereka.   

Lalu apa hubungannya dengan generasi Z?   Sekolah terlalu sibuk dengan program mencetak juara "Olimpiade Matematika" dan melupakan pentingnya Pendidikan karakter, etika, sopan santun dan bersosialisasi dengan orang lain.  Padahal juara olimpiade matematika memang bagus, tapi apakah semua anak diarahkan kesana, semua anak mempelajari matematika yang sangat berat.  Padahal di dunia kerja lebih dibutuhkan bersosialisasi dengan orang lain, etika, sopan santun.  

Dari 2 contoh diatas Pendidikan di Jepang dan Finlandia dapat disimpulkan bahwa pendidikan dasar lebih ditekankan pada Pendidikan karakter, etika, cara bersosialisasi.  Karena hal hal inilah yang bisa membendung pengaruh buruk informasi yang diterima oleh generasi Z.  Generasi yang unik, beragam, melek teknologi digital, apakah akan kita cekoki dengan soal matematika tingkat dewa, atau hafalan PKN yang diluar nalar karena akan selalu keluar pertanyaan dari orang tua, nantinya buat apa ya?  

Untuk generasi Z ini perlu perubahan radikal sistem pendidikan kita, dengan Pendidikan yang ramah terhadap anak, memberikan porsi lebih kebebasan dalam menjawab soal, mengutamakan proses, meniadakan nilai apalagi rangking, kemudian SD mutlak pendidikan karakter dan etika lebih dominan (mungkin 70 karakter 30 pengetahuan), mungkin matematika mulai diberikan kelas 3 SD itupun dengan cara menyenangkan dan analisis proses dan menghilangkan pelajaran hafalan.   

Ingat tidak semua anak kita akan jadi juara olimpiade matematika dan tidak semua akan jadi politikus maupun birokrat sehingga harus menghafal berapa jumlah komisi di DPR.  Jika hal diatas dilakukan, tentunya dengan mengadopsi 2 sistem Pendidikan di 2 negara diatas bukan tidak mungkin kita akan menjadi negara maju dan tidak kehilangan generasi Z anak-anak kita.  Akhirnya semoga keinginan kami sebagai orang tua yang menginginkan perubahan kurikulum Pendidikan dasar yang sejak penulis bersekolah SD sama saja, akan terwujud.  Semoga.

Dr Agung Budisatria, M.M.

Dokter dan pemerhati pendidikan dasar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun