Penulis mencoba mengangkat hal ini karena penulis sangat prihatin dengan kejadian ini. Â Tiap hari bahkan sebelum tidur selalu dinasehatkan hal yang baik, perkataan yang baik, tidak pernah menonton acara sinetron, menonton TV, HP dibatasi dan selalu didampingi. Â Ternyata pengaruh dari luar, dari temannya lebih besar dari dirumah. Â
Beruntung kami membiasakan anak kami berbicara jujur, terbuka sama orang tuanya, sehingga kami tahu, perkataan-perkataan kotor itu dari siapa, temannya, kami sebagai orang tua tahu. Â Yang kami shock itu adalah yang belum pantas sudah jadi komoditas kelas 6 SD?! Bagaimana peran guru disekolah membantu mengatasi hal ini,itu yang perlu kita amati lebih jauh.
Ketika melihat sistem Pendidikan negara lain agar kita dapat membandingkannya sendiri, mengambil sisi positifnya atau merombak total sistem Pendidikan dasar kita. Jepang sebagai negara asia yang maju dan terkenal dengan karakter yang kuat tentunya tidak lepas dari pondasi yang ditanamkan pada Pendidikan dasar (shougakkou). Â
Dari berbagai sumber, didapatkan bahwa sekolah dasar di Jepang, lebih menanamkan pendidikan karakter atau moral. Â Karena dipercaya bahwa karakter suatu bangsa itu by design buat tanpa kesengajaan. Â Aspek yang diajarkan meliputi, menghargai diri sendiri, menghargai orang lain, menghargai kelompok dan menghargai lingkungan. Â Seringkali anak-anak SD Jepang diajarkan bagaimana berperilaku saat di kereta atau kendaraan umum lain, untuk tidak ngobrol dan juga bagaimana menghargai orang lain.Â
Mereka juga diajarkan bagaimana mengantre, membersihkan toilet, mencuci piring sendiri setelah makan. Â Jadi mereka tidak dijejali materi pelajaran menghafal dan matematika yang sulit tingkat dewa dengan soal yang menjebak. Â Jika ada pelajaran matematika mereka diberikan kebebasan bagaimana menemukan proses menjawabnya. Â
Sebagai contoh guru akan memberikan 1 contoh soal dan membiarkan anak mencari jawabannnya sendiri dengan berkelompok. Â Dan guru di Jepang tidak akan menyalahkan jawaban anak asuhnya, tetapi proses yang akan dilihatnya. Â Guru akan mentolerir semua jawaban karena yang dilihat prosesnya, bukan target harus mencapai misal mendapatkan nilai 100 dengan memberitahukan jawabannya (khas di Indonesia). Â Mempelajari matematika menjadi hal yang menyenagkan di Jepang, karena selalu dihubungkan dengan kondisi dalam kehidupan nyata. Â
Di Jepang juga tidak ada ujian kenaikan kelas dan ujian akhir untuk SD dan SMP, karena SD dan SMP masuk dalam compulsory education, wajib buat masyarakat jepang. Â Jadi itulah yang di tanamkan di Jepang, yang tidak mengenal ranking disekolah tapi lebih pada pendidikan karakter, moral dan kemandirian. Â Selain jepang, di Asia ada satu negara Eropa dengan sistem Pendidikan terbaik didunia yaitu Finlandia. Â
Finlandia hanya menerapkan 5 jam pelajaran  perhari untuk tingkatan SD dan SMP.  Pelajaran yang santai dan tidak membebani siswa, tidak mengenal ujian akhir sama sekali untuk SD dan SMP.  Karena guru-guru dipercaya tahu kualitas para muridnya sendiri.  Mereka selalu diajarkan etika, tatakrama dan bagaimana memecahkan masalah yang ada, bahkan untuk SMP maupun SMA mereka bisa memilih mata pelajaran sesuai minat mereka sendiri. Jadi mereka masuk sekolah dengan hati yang senang bahkan menanti pelajaran yang akan didapat. Bukan seperti disini anak kelas 6 SD diajarkan materi pelajaran PPKN tentang berapa jumlah komisi di DPR, fungsinya harus hapal?! Buat apa ya?
Nah, dari dua contoh tadi bisa kita simpulkan untuk Pendidikan dasar target mencapai nilai tertentu, rangking tidak perlu, karena ini hanya akan menciptakan sejumlah anak pintar dan sejumlah anak bodoh. Â Kalau saya menyinggung hal seperti ini ke orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di SD swasta" terbaik" di Jakarta, yang beberapa siswa jadi juara olimpiade matematika, pasti akan dianggap aneh, karena jiwa kompetisi anak harus ditumbuhkan dari kecil, ikut bimbel, les Kumon, dll. Â Itulah rata rata jawaban yang saya terima dari orang tua murid, yang menyetujui sistem disini yang sangat berat buat anak mereka. Â Â
Lalu apa hubungannya dengan generasi Z? Â Sekolah terlalu sibuk dengan program mencetak juara "Olimpiade Matematika" dan melupakan pentingnya Pendidikan karakter, etika, sopan santun dan bersosialisasi dengan orang lain. Â Padahal juara olimpiade matematika memang bagus, tapi apakah semua anak diarahkan kesana, semua anak mempelajari matematika yang sangat berat. Â Padahal di dunia kerja lebih dibutuhkan bersosialisasi dengan orang lain, etika, sopan santun. Â
Dari 2 contoh diatas Pendidikan di Jepang dan Finlandia dapat disimpulkan bahwa pendidikan dasar lebih ditekankan pada Pendidikan karakter, etika, cara bersosialisasi. Â Karena hal hal inilah yang bisa membendung pengaruh buruk informasi yang diterima oleh generasi Z. Â Generasi yang unik, beragam, melek teknologi digital, apakah akan kita cekoki dengan soal matematika tingkat dewa, atau hafalan PKN yang diluar nalar karena akan selalu keluar pertanyaan dari orang tua, nantinya buat apa ya? Â