Pembahasan mengenai etika dalam pemeriksaan pajak sering kali dikaitkan dengan nilai-nilai moral yang menekankan pada prinsip keadilan, transparansi, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai etika ini bukan hanya berperan dalam menjaga integritas pemeriksa pajak tetapi juga memastikan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan cara yang adil dan proporsional, menghargai hak wajib pajak, dan mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu konsep moral yang sangat relevan dan sering digunakan sebagai kerangka etis dalam berbagai bidang termasuk perpajakan adalah Cardinal Virtue atau Kebajikan Utama yang dikemukakan oleh filsuf dan teolog abad pertengahan, Thomas Aquinas.
Thomas Aquinas, yang terinspirasi oleh filsafat Aristoteles, menyusun konsep Cardinal Virtue ini sebagai landasan moral untuk menjalani kehidupan yang baik dan bertanggung jawab. Menurut Aquinas, Cardinal Virtue mencakup empat kebajikan utama yang menjadi fondasi dari semua kebajikan lainnya, yaitu: prudence (kebijaksanaan atau kemampuan bernalar), temperance (pengendalian diri atau moderasi), fortitude (ketabahan atau keberanian), dan justice (keadilan). Setiap kebajikan ini memiliki peran penting dalam membimbing seseorang untuk membuat keputusan yang benar dan bertindak secara etis, terutama dalam situasi yang kompleks atau berpotensi konflik.
Dalam konteks pemeriksaan pajak, Cardinal Virtue ini memberikan pedoman moral yang sangat penting bagi pemeriksa pajak. Nilai-nilai tersebut tidak hanya relevan untuk menjalankan tugas pemeriksaan dengan profesionalisme, tetapi juga memastikan bahwa proses pemeriksaan berjalan dengan manusiawi dan memperhatikan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.Â
Apa Itu Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Pasal 17C UU KUP?
Pasal 17C dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menetapkan dasar hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka memastikan kepatuhan wajib pajak terhadap kewajiban perpajakan mereka. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mengonfirmasi bahwa laporan yang disampaikan oleh wajib pajak telah sesuai dengan peraturan yang berlaku, serta mencegah potensi kecurangan dan manipulasi data pajak yang dapat merugikan negara.
a. Dasar Hukum dan Peraturan Pendukung
Pemeriksaan pajak berdasarkan Pasal 17C UU KUP berlandaskan pada ketentuan yang diatur oleh berbagai peraturan pelaksana, termasuk PMK No. 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Pasal ini menjadi rujukan utama bagi petugas pajak untuk menjalankan tugas mereka dalam mengumpulkan dan menganalisis data, serta memverifikasi kewajiban perpajakan yang dilaporkan wajib pajak. Pemeriksaan ini juga melibatkan prosedur yang telah distandardisasi, seperti audit terhadap pembukuan dan catatan yang dimiliki oleh wajib pajak.
b. Jenis Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan Pasal 17C UU KUP dan PMK No. 17/PMK.03/2013, ada dua jenis pemeriksaan pajak yang umum dilakukan oleh DJP:
- Pemeriksaan Kantor: Pemeriksaan ini dilakukan di kantor DJP, biasanya dengan mengundang wajib pajak atau kuasanya untuk datang dan membawa dokumen pendukung yang relevan dengan kewajiban perpajakan yang sedang diuji. Pemeriksaan ini lebih bersifat administratif dan umumnya diterapkan pada kasus yang dianggap sederhana atau berisiko rendah.
- Pemeriksaan Lapangan: Dilakukan langsung di lokasi wajib pajak, seperti tempat tinggal, kantor, atau tempat usaha. Pemeriksaan lapangan lebih komprehensif dan mencakup pengecekan data fisik serta wawancara langsung dengan pihak terkait untuk memperoleh bukti lebih mendalam terkait transaksi atau pembukuan yang dilaporkan.
Pemilihan jenis pemeriksaan bergantung pada analisis risiko dan pertimbangan DJP mengenai kompleksitas atau potensi pelanggaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak.
c. Tahapan Pemeriksaan
Mekanisme pemeriksaan pajak dalam Pasal 17C UU KUP melibatkan beberapa tahapan:
- Persiapan Pemeriksaan: Meliputi pengumpulan data awal, analisis risiko, dan perencanaan pemeriksaan. Pemeriksa pajak akan menentukan ruang lingkup pemeriksaan yang mencakup periode pajak, jenis pajak, dan data yang akan diverifikasi.
- Pelaksanaan Pemeriksaan: Pemeriksa pajak mulai mengumpulkan bukti dengan melakukan wawancara, mengakses pembukuan, dan memverifikasi dokumen yang berkaitan dengan laporan perpajakan wajib pajak. Pemeriksa dapat memeriksa semua data relevan, termasuk data elektronik, serta melibatkan tenaga ahli jika diperlukan.
- Pelaporan Hasil Pemeriksaan: Setelah proses verifikasi selesai, pemeriksa menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang mencakup temuan, analisis, dan rekomendasi. LHP ini digunakan untuk mengeluarkan surat ketetapan pajak atau tindakan lanjutan lainnya.
- Pembahasan Akhir: Sebelum LHP difinalisasi, wajib pajak diberikan kesempatan untuk menanggapi temuan pemeriksa melalui proses pembahasan akhir. Hal ini bertujuan agar keputusan akhir dapat lebih objektif dan transparan, serta memberikan hak bagi wajib pajak untuk menyampaikan klarifikasi atau bukti tambahan.
Mengapa Cardinal Virtue Relevan dalam Pemeriksaan Pajak?
Penerapan Cardinal Virtue dalam pemeriksaan pajak memberikan dasar etis yang kokoh untuk menjaga kualitas, integritas, dan keadilan dalam proses pemeriksaan. Nilai-nilai utama yang terkandung dalam kebajikan Cardinal — Prudence (Kebijaksanaan), Temperance (Pengendalian Diri), Fortitude (Ketabahan), dan Justice (Keadilan) — sangat relevan dalam mekanisme pemeriksaan pajak. Setiap nilai ini membantu pemeriksa pajak untuk menghadapi berbagai tantangan dalam melaksanakan tugasnya, menjaga keseimbangan antara keadilan dan ketegasan, serta memastikan bahwa proses pemeriksaan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang adil dan profesional. Berikut adalah alasan rinci pentingnya setiap Cardinal Virtue dalam pemeriksaan pajak.
a. Prudence (Kebijaksanaan)
- Esensi Kebijaksanaan: Prudence atau kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dan hati-hati berdasarkan analisis yang matang terhadap informasi dan data yang ada. Dalam pemeriksaan pajak, kebijaksanaan sangat penting untuk menilai apakah ada indikasi pelanggaran, bagaimana pendekatan yang tepat dalam mengumpulkan bukti, serta bagaimana menjaga komunikasi yang profesional dengan wajib pajak.
- Relevansi dalam Pemeriksaan Pajak: Pemeriksa pajak harus mempertimbangkan data historis wajib pajak, memperhatikan konteks ekonomi, serta memahami pola perilaku wajib pajak. Kebijaksanaan ini juga berarti menghindari keputusan yang tergesa-gesa yang dapat berujung pada penilaian yang tidak adil terhadap wajib pajak. Dengan kebijaksanaan, pemeriksa dapat menentukan tindakan yang paling sesuai dalam menjalankan prosedur pemeriksaan.
b. Temperance (Pengendalian Diri)
- Esensi Pengendalian Diri: Temperance mengacu pada pengendalian diri dan kemampuan untuk menjaga emosi agar tetap netral dan profesional. Dalam pemeriksaan pajak, pengendalian diri membantu pemeriksa untuk tidak bertindak secara reaktif atau emosional saat berhadapan dengan wajib pajak yang mungkin tidak kooperatif atau bahkan defensif.
- Relevansi dalam Pemeriksaan Pajak: Pengendalian diri menjaga agar pemeriksa tetap objektif dan sopan, terutama dalam situasi yang menuntut kesabaran. Mengingat bahwa pemeriksaan pajak bisa menjadi proses yang penuh tekanan bagi kedua belah pihak, pengendalian diri memungkinkan pemeriksa pajak untuk tetap tenang dan fokus pada tujuan utama, yaitu memastikan akurasi dan kepatuhan pajak tanpa menimbulkan konflik atau ketidaknyamanan yang tidak perlu.
c. Fortitude (Ketabahan)
- Esensi Ketabahan: Fortitude mencerminkan keteguhan hati dan ketabahan dalam menghadapi tantangan. Ketabahan ini penting bagi pemeriksa pajak dalam mengatasi berbagai rintangan selama proses pemeriksaan, misalnya, ketika menghadapi wajib pajak yang sulit bekerja sama atau dalam situasi di mana data yang dibutuhkan sulit diperoleh.
- Relevansi dalam Pemeriksaan Pajak: Ketabahan membantu pemeriksa pajak untuk tetap teguh pada prinsip dan tugasnya, meskipun menghadapi kesulitan teknis atau tekanan dari berbagai pihak. Dengan ketabahan, pemeriksa dapat menyelesaikan proses pemeriksaan hingga tuntas, bahkan saat ada hambatan yang dapat mengganggu kelancaran pemeriksaan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh dan tidak berhenti karena kendala sementara.
d. Justice (Keadilan)
- Esensi Keadilan: Justice atau keadilan adalah prinsip utama dalam Cardinal Virtue yang menuntut pemeriksa pajak untuk bertindak secara obyektif, proporsional, dan tidak memihak. Prinsip ini penting agar wajib pajak dapat merasakan perlakuan yang adil, tanpa diperlakukan secara sewenang-wenang.
- Relevansi dalam Pemeriksaan Pajak: Keadilan dalam pemeriksaan pajak berarti memberikan keputusan yang seimbang berdasarkan bukti yang ada, tanpa terpengaruh oleh prasangka atau kepentingan pribadi. Pemeriksa pajak harus memastikan bahwa sanksi atau koreksi yang diberikan benar-benar proporsional dengan temuan pelanggaran. Prinsip keadilan ini juga tercermin dalam hak wajib pajak untuk menanggapi temuan pemeriksaan dan berpartisipasi dalam pembahasan akhir sebelum keputusan final diambil.
Bagaimana Cardinal Virtue Mewujud dalam Proses Pemeriksaan?
Setiap Cardinal Virtue dari Aquinas dapat diwujudkan dalam berbagai tahap dan proses pemeriksaan pajak, khususnya dalam prosedur yang diatur oleh Pasal 17C UU KUP. Berikut ini adalah cara penerapan setiap Cardinal Virtue dalam mekanisme pemeriksaan pajak:
a. Prudence dalam Proses Perencanaan dan Analisis Risiko
- Perencanaan Awal yang Matang: Sebelum pemeriksaan dimulai, pemeriksa pajak melakukan perencanaan awal yang matang. Ini mencakup pengumpulan informasi tentang wajib pajak, analisis terhadap data yang relevan, serta penyusunan rencana pemeriksaan yang berbasis pada risiko. Dalam hal ini, kebijaksanaan digunakan untuk memutuskan pendekatan terbaik yang sesuai dengan profil wajib pajak, menentukan tujuan pemeriksaan, serta merencanakan pengumpulan bukti dengan metode yang paling efektif.
- Pengambilan Keputusan Berdasarkan Bukti yang Valid: Kebijaksanaan juga diterapkan dalam proses pengambilan keputusan ketika pemeriksa harus menilai bukti yang diperoleh. Pemeriksa pajak akan menggunakan pertimbangan yang matang untuk menilai apakah data yang ada sudah cukup atau perlu digali lebih dalam, serta menentukan tindakan lanjutan yang sesuai.
b. Temperance dalam Interaksi dengan Wajib Pajak
- Sikap Profesional dan Terkendali: Selama pemeriksaan, pengendalian diri penting untuk menjaga hubungan yang profesional antara pemeriksa dan wajib pajak. Misalnya, ketika wajib pajak menunjukkan sikap resistensi atau kekhawatiran terhadap pemeriksaan, pemeriksa harus tetap tenang, sopan, dan menghindari konfrontasi.
- Penerapan dalam Pengumpulan Informasi: Dalam pemeriksaan lapangan atau kantor, pengendalian diri menjaga agar pemeriksa tidak terbawa emosi atau terkesan menekan wajib pajak. Pengendalian diri ini mendukung proses pemeriksaan yang efektif karena wajib pajak lebih cenderung memberikan informasi yang akurat jika mereka merasa dihargai dan diperlakukan secara netral oleh pemeriksa pajak.
c. Fortitude dalam Menghadapi Tantangan dan Kendala
- Mengatasi Hambatan dengan Tekad yang Kuat: Dalam banyak kasus, pemeriksa pajak menghadapi tantangan, seperti kesulitan dalam mengakses data penting atau menghadapi situasi di mana wajib pajak enggan bekerja sama. Dalam kondisi seperti ini, ketabahan atau fortitude memungkinkan pemeriksa untuk tetap fokus dan gigih mencari solusi.
- Melaksanakan Pemeriksaan Secara Menyeluruh: Ketabahan juga penting ketika pemeriksa pajak mendeteksi potensi penyimpangan yang membutuhkan analisis lebih lanjut. Misalnya, dalam kasus transaksi yang kompleks atau indikasi manipulasi data, pemeriksa yang memiliki ketabahan akan lebih teliti dan sabar dalam menggali bukti yang relevan hingga proses pemeriksaan benar-benar dapat diselesaikan sesuai standar.
d. Justice dalam Pelaporan dan Keputusan Akhir
- Penyusunan Laporan yang Objektif: Pada tahap akhir pemeriksaan, keadilan diwujudkan dalam penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Laporan ini harus mencerminkan hasil pemeriksaan dengan obyektif, berdasarkan bukti yang diperoleh, tanpa ada opini atau interpretasi subjektif dari pemeriksa. Keadilan memastikan bahwa setiap kesimpulan dan rekomendasi didasarkan pada temuan faktual yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Memberikan Hak kepada Wajib Pajak untuk Menanggapi Temuan Pemeriksaan: Prinsip keadilan juga berarti memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan klarifikasi atau tanggapan terhadap hasil pemeriksaan. Proses ini memungkinkan wajib pajak untuk memberikan perspektif mereka, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh pemeriksa sebelum mengambil keputusan final. Hal ini memastikan bahwa keputusan akhir yang diambil benar-benar adil dan mempertimbangkan sudut pandang kedua belah pihak.
Tahapan yang Memerlukan Cardinal Virtue dalam Praktik
- Tahap Persiapan: Menggunakan prudence untuk menetapkan tujuan pemeriksaan yang relevan dan merancang rencana pemeriksaan berdasarkan risiko.
- Tahap Pelaksanaan: Menggunakan temperance untuk menjaga sikap profesional dan bersikap netral dalam interaksi dengan wajib pajak. Ketabahan diperlukan untuk menghadapi kendala yang mungkin muncul dalam pengumpulan bukti.
- Tahap Pelaporan dan Penyelesaian: Keadilan diterapkan untuk menyusun laporan hasil pemeriksaan secara obyektif dan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memberikan tanggapan terhadap hasil pemeriksaan.
Dengan penerapan Cardinal Virtue di setiap tahapan pemeriksaan pajak sesuai Pasal 17C UU KUP, pemeriksa pajak tidak hanya menjalankan tugasnya secara teknis tetapi juga secara etis. Ini akan mendukung tujuan pemeriksaan yang transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta membantu meningkatkan kepercayaan wajib pajak terhadap sistem perpajakan.
Daftar Pustaka
- PMK-17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), beserta perubahannya.
- Sumaryono, E. (2002). Etika, Filsafat, dan Moralitas Hukum dalam Pajak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Pontifical Council for Justice and Peace. (2004). Compendium of the Social Doctrine of the Church.
- Modul K08_PEMERIKSAAN BERDASARKAN PASAL 17C UNDANG-UNDANG KUP. dok. Prof. Apollo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H