Dialektika Hanacaraka mengajarkan bahwa dualitas dan pertentangan adalah aspek alami dari setiap proses. Ketika auditor menemukan ketidaksesuaian antara laporan perusahaan dengan regulasi perpajakan, hal ini sebenarnya membuka ruang untuk dialog dan penyelesaian masalah. Dalam proses dialektis, konflik bukanlah akhir dari proses, tetapi justru tahap penting untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam. Misalnya, ketika auditor menemukan ketidaksesuaian dalam perhitungan pajak yang diajukan oleh perusahaan, konflik ini memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk berdialog, saling memahami interpretasi masing-masing terhadap aturan perpajakan, dan akhirnya mencapai kesepakatan melalui sintesis.
2. Pendekatan Holistik: Mengakomodasi Berbagai Perspektif dan Interpretasi
Relevansi lainnya dari dialektika Hanacaraka dalam audit pajak adalah kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai perspektif. Proses audit pajak bukanlah proses yang kaku dan hanya berdasarkan aturan baku. Dalam banyak kasus, audit melibatkan pemahaman yang lebih luas terhadap situasi dan konteks yang memengaruhi perusahaan. Misalnya, perusahaan mungkin menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, perubahan regulasi, atau dinamika pasar yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban pajak. Dalam situasi seperti ini, auditor tidak bisa hanya berpegang pada aturan formal tanpa mempertimbangkan konteks di mana entitas beroperasi.
Dialektika Hanacaraka, dengan filosofi yang menghargai keselarasan dan harmoni, memungkinkan auditor untuk lebih peka terhadap konteks operasional entitas yang diaudit. Filosofi ini mengajarkan bahwa setiap situasi harus dipahami dengan pemahaman mendalam terhadap latar belakang dan kondisi yang melingkupinya. Oleh karena itu, pendekatan ini memungkinkan auditor untuk melihat lebih jauh dari sekadar kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga untuk memahami bagaimana faktor eksternal dan internal mempengaruhi kinerja perpajakan perusahaan. Keselarasan antara aturan perpajakan dan situasi unik perusahaan adalah kunci dalam mencapai hasil audit yang adil dan bijaksana.
3. Menggabungkan Pendekatan Teknis dan Filosofis dalam Audit
Dalam banyak kasus audit pajak, auditor sering kali berfokus pada aspek teknis dari proses audit, seperti memeriksa laporan keuangan, menghitung pajak yang terutang, dan memverifikasi bukti transaksi. Meskipun ini adalah bagian penting dari audit, dialektika Hanacaraka memperkenalkan dimensi filosofis yang lebih luas dalam prosedur audit. Filosofi Hanacaraka mengajarkan bahwa kehidupan, dan dengan demikian juga proses audit, terdiri dari siklus konflik dan resolusi yang berulang. Hal ini menekankan bahwa audit bukanlah proses satu arah yang berakhir ketika laporan disusun, tetapi merupakan proses interpretatif dan dialogis yang berkelanjutan.
Sebagai contoh, dalam audit pajak, setelah auditor menemukan ketidaksesuaian dalam data yang diajukan oleh perusahaan, langkah selanjutnya bukanlah langsung memberikan sanksi atau denda, tetapi terlebih dahulu melakukan dialog dengan perusahaan untuk memahami alasan di balik ketidaksesuaian tersebut. Ini bisa melibatkan diskusi tentang bagaimana perusahaan menafsirkan aturan perpajakan atau bagaimana kondisi eksternal mempengaruhi pelaporan keuangan mereka. Proses ini mencerminkan filosofi Hanacaraka, di mana kebenaran tidak ditemukan hanya dengan mencari kesalahan, tetapi melalui dialog yang terus-menerus antara berbagai pihak yang terlibat.
4. Relevansi Tesis, Antitesis, dan Sintesis dalam Audit Pajak
Jika kita melihat lebih dalam pada tahapan dialektis dalam Hanacaraka, relevansi ini semakin jelas ketika diterapkan dalam proses audit pajak:
Tesis: Ha Na Ca Ra Ka (Ada Utusan)
Tesis adalah titik awal dari dialektika. Dalam audit pajak, data awal yang disajikan oleh perusahaan merupakan bentuk dari tesis. Data ini, yang mencakup laporan keuangan, pajak terutang, serta catatan lainnya, adalah representasi dari kebenaran awal yang disajikan oleh perusahaan untuk diperiksa oleh auditor. Data ini adalah gambaran tentang bagaimana perusahaan beroperasi dalam hal kepatuhan terhadap aturan perpajakan yang berlaku. Proses ini mencerminkan "ada utusan," di mana perusahaan menyajikan data dan informasi kepada auditor sebagai dasar untuk pemeriksaan lebih lanjut.Antitesis: Da Ta Sa Wa La (Pertentangan pada Kebenaran)
Pada tahap antitesis, auditor mulai menganalisis data yang disajikan dan membandingkannya dengan aturan perpajakan. Ketika auditor menemukan ketidaksesuaian antara data dan aturan, maka terjadi pertentangan. Misalnya, laporan keuangan perusahaan mungkin tidak sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tahap ini penting karena membuka ruang bagi dialog antara perusahaan dan auditor untuk membahas perbedaan interpretasi atau ketidaksesuaian yang ditemukan.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!