Mohon tunggu...
CONG SANTREH
CONG SANTREH Mohon Tunggu... Administrasi - Saya santri PPSMCH yang sekarang hijrah ke arah yang lebih baik guna berbakti pada ibu pertiwi.

Air

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blusukan Tahun Abu vs Tahun Milenial

3 Agustus 2018   22:24 Diperbarui: 3 Agustus 2018   22:31 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia negara yang terkenal dengan negara kaya raya akan remah limpah loh jinawi yang kemerdekaannya sejak 73 tahun tidak lantas membuat negara kita ini menjadi negara yang maju, yaitu hanya menjadi negara yang berkembang walaupun dalam kamus tidak ada yang namanya negara berkembang, yang ada hanya maju atau tidak maju.

Salah satu negera itu bisa di katakan maju bisa di lihat apabila rakyatnya makmur, sejahtera dan tentram tragisnya negera yang merdeka sejak 73 tahun lalu masih jauh dari yang namanya sejahtera di lihat rakyatnya masih banyak yang kelaparan dan miskin, kesehariannya belum tentu bisa makan atau tidak.

Di balik itu semua pemerintahan kita yang bisa kita sebut ulul amri yang seharusnya bisa menjadi pengayom rakyatnya justru sibuk dengan pencapresannya, duduk santai dan makan malam politik dengan semua patnernya terlepas di pelosok negeri ini masih banyak rakyatnya yang kelaparan sampek ada di maluku sana ada yang mati kelaparan.

Yach bisa di benarkan juga karena memang tahun ini tahun milenial pemerintah kita lagi sibuk-sibuknya persiapan pesta demokrasi, semua kalangan pada blusukan ke masyarakat setelah jadi lupa akan tanggung jawabnya dan semua kampanye politiknya.

Blusukan sudah menjadi kebiasaan kaum politik kita, sampai masuk ke got satu ke got yang lain, masuk ke sawah satu ke sawah yang dengan segala media yang ia bawa untuk mengabadikan dan memberitahukan bahwa ia sedang merakyat, apakah ini memang ini blusukan yang di benarkan ???

Berbicara tentang blusukan sebenarnya bukan hal yang baru karena hal serupa sudah pernah di lakukan oleh sahabat nabi yaitu Sayyidina Umar RA pada saat beliau terpilih menjadi Kholifah ada massa paceklik yang mana pada tahun itu tahun abu, semua tanaman mati, hujan lama tidak kunjung turun

Dengan keadaan yang seperti ini maka Sayyidina Umar setiap harinya mengumumkan untuk semua rakyatnya datang ke rumahnya untuk makan onta-onta yang di potong untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya walaupun Sayyidina Umar sendiri setiap harinya pada massa itu hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun.

Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata "Kurangilah panas minyak itu dengan api". Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, "Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar."

Hampir setiap malam Sayyidina Umar melakukan perjalanan diam-diam. Ditemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Sayyidina Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.

Malam itu pun, bersama Aslam, Sayyidina Umar berada di suatu kampung terpencil, kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Sayyidina Umar terperanjat, dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Sayyidina Umar dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.

Setelah dekat, Sayyidina Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

"Assalamu'alaikum," Sayyidina Umar memberi salam.

Mendengar salam Sayyidina Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab salam Sayyidina Umar. Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.

"Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?" tanya Sayyidina Umar.

Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, "Anakku...."

"Apakah ia sakit?"

"Tidak," jawab si ibu lagi. "Ia kelaparan."

Sayyidina Umar dan Aslam tertegun, mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.

Sayyidina Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Sayyidina Umar berkata, "Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?"

Ibu itu menoleh dan menjawab, "Hmmm, kau lihatlah sendiri!"

Sayyidina Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Sayyidina Umar berteriak, "Apakah kau memasak batu?"

Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala,"Buat apa?"

Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Sayyidina Umar, Aku memasak batu-btu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab itu. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa.

Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki, namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak.

Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan. Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, "Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab itu tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya."

Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Sayyidina Umar sempat mencegah. Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Sayyidina Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.

Karena Sayyidina Umar terlihat keletihan, Aslam berkata, "Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saya yang memikul karung itu...."

Dengan wajah merah padam, Sayyidina Umar menjawab sebat, "Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?"

Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Sayyidina Umar berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita tersebutk kemudian Sayyidina Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya. Tatkala gandum tersebut sudah masak Sayyidina Umar meminta sang ibu membangunkan anaknya.

"Bangunkanlah anak untuk makan."

Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Anak tersebut kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang.

"Wanita itu berkata, terimakasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang berlipat."

Sebelum pergi Sayyidina Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui khalifah Umar bin Khattab RA, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai penerima santunan negara.

Esok harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui khalifah Umar bin Khattab RA, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut, bahwa khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.

Melihat dari cerita di atas kita bisa mengukur blusukan yang sebenarnya dan yang baik itu seperti apa..!!! apakah yang tengah malam, sendiri atau berdua, menyamar untuk mengetahui keadaan rakyatnya yang sedang kelaparan atau yang berangkat pagi bawa semau awak media untuk meliputnya, masuk ke Got satu ke Got yang lain tapi masih banyak rakyat kita mati karena kelaparan.

Entahlah apa yang salah dengan negeri kita ini, Bangsanya besar tapi ketimpangan masih terjadi dimana-mana, negaranya kaya tapi banyak rakyat yang kelaparan, mari kita do'akan semoga pemerintahan kita segera sadar dan mau melihat ke bawah pada rakyat jelata yag tidak punya. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun