"Kesederhanaan adalah kekuatan. Kesederhanaan bukanlah tanda kekurangan, melainkan pilihan bijak dari hati yang kaya akan iman dan penuh kesadaran akan hakikat dunia yang fana."
Di tengah hingar-bingar peradaban yang mengukur kesuksesan dengan kemewahan dan kejayaan dengan gemerlap materi, ada sebuah kisah yang tak lekang oleh waktu. Yaitu tentang seorang pemimpin agung yang hidup dengan penuh kesederhanaan. Beliau bukan hanya seorang Rasul, tetapi juga pemimpin negara, panglima perang, dan teladan bagi seluruh umat manusia.
Namun, di balik semua kedudukan dan kehormatan itu, beliau memilih untuk tidur di atas kasur sederhana yang diisi ijuk sabut, bukan di atas singgasana emas atau permadani sutra.
Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam, yang memiliki akses kepada segala kekayaan dunia, justru memilih hidup dalam kesederhanaan yang begitu mendalam? Apakah kesederhanaan ini hanya kebetulan, atau ada hikmah besar yang tersembunyi di balik pilihan beliau?
Mari kita telusuri lebih dalam bagaimana kesederhanaan Rasulullah bukan sekadar gaya hidup, tetapi sebuah filosofi yang menjadi cermin bagi kita semua dalam memahami hakikat kehidupan dunia dan tujuan akhirat.
Kasur dari Ijuk Sabut: Cermin Kesederhanaan Sejati
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata:
"Tempat tidur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari kulit yang diisi dengan ijuk sabut" (HR. Bukhari dan Muslim).
Gambaran ini begitu menyentuh hati. Rasulullah, seorang pemimpin yang disegani dan dicintai, tidur di atas kasur yang begitu sederhana. Kulit yang diisi dengan ijuk sabut dan dedaunan menjadi tempat beliau beristirahat setelah seharian berdakwah, memimpin umat, dan memikirkan kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. Padahal, pada masa itu, harta dari berbagai penjuru mulai mengalir ke Madinah. Jika Rasulullah menghendaki, beliau bisa saja memilih permadani sutra atau kasur empuk yang nyaman. Namun, kesederhanaan itulah yang dipilihnya.
Inilah teladan yang seharusnya direnungkan oleh kita semua, terutama oleh para pemimpin yang hari ini diberi amanah besar. Kesederhanaan Rasulullah bukanlah karena ketidakmampuan, melainkan sebuah pilihan sadar yang lahir dari kedalaman iman dan kesadaran akan hakikat dunia yang fana.
Tangisan Umar bin Khattab: Sebuah Kesaksian Abadi
Suatu ketika, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu melihat Rasulullah tidur di atas tikar kasar yang membekas di tubuh mulianya. Dengan mata yang berkaca-kaca, Umar berkata:
"Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini. Engkau adalah Rasulullah. Sedangkan Kisra dan Kaisar tidur di atas ranjang emas."
Kisra sendiri adalah sebutan oleh bangsa Arab untuk raja-raja dari Kekaisaran Persia, sedangkan Kaisar adalah sebutan untuk raja-raja dari Kerajaan Romawi, negeri Syam, dan Al-Jazirah. Namun, jawaban Rasulullah sungguh menohok:
"Apa urusanku dengan dunia ini? Aku di dunia ini hanyalah seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu pergi meninggalkannya." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi)
Begitulah Rasulullah mengajarkan bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, bukan tujuan akhir. Beliau menanamkan dalam hati para sahabat dan umatnya bahwa kemewahan dunia tak akan pernah bisa membeli ketenangan jiwa dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna Kesederhanaan dalam Perspektif Psikologi Agama
Dalam konteks psikologi agama, kesederhanaan Rasulullah adalah simbol dari inner peace atau kedamaian batin yang hakiki. Manusia yang terlalu terpaku pada materi dan kemewahan sering kali dibayangi oleh kegelisahan, kekhawatiran kehilangan, dan rasa kurang puas yang tiada akhir. Rasulullah mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kemampuan untuk merasa cukup (qana'ah) dan mensyukuri apa yang ada.
Dari perspektif psikologi positif, kesederhanaan membantu seseorang untuk fokus pada hal-hal yang lebih esensial dalam hidup: hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia, dan kontribusi positif bagi masyarakat. Kesederhanaan menciptakan ruang dalam hati untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih tulus dalam memberi.
Refleksi untuk Zaman Ini: Mengapa Kita Harus Belajar dari Kesederhanaan Rasulullah?
Di tengah maraknya gaya hidup konsumtif dan budaya pamer, kesederhanaan Rasulullah adalah oase di tengah gurun keserakahan. Pemimpin yang hidup sederhana akan lebih mudah merasakan penderitaan rakyatnya. Mereka akan lebih fokus pada tugas dan tanggung jawabnya daripada terpaku pada kemewahan pribadi.
Bagi kita sebagai umat, kesederhanaan Rasulullah adalah cermin untuk mengevaluasi diri. Apakah kita sudah benar-benar memahami hakikat dunia? Apakah kita sudah merasa cukup dengan apa yang Allah berikan? Atau justru kita masih terperangkap dalam obsesi mengejar materi yang tiada habisnya?
Penutup: Meneladani Kesederhanaan Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari
Kesederhanaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bukanlah sekadar cerita untuk dikenang, tetapi pedoman untuk diikuti. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil: hidup sesuai kebutuhan, tidak berlebihan dalam konsumsi, dan selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
Sebagaimana sabda Rasulullah:
"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang merasa cukup" (HR. Bukhari dan Muslim).
Mari kita jadikan kesederhanaan Rasulullah sebagai inspirasi dalam menjalani kehidupan ini. Sebab, di balik kesederhanaan, ada ketenangan, keberkahan, dan kemuliaan yang abadi.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menginspirasi kita semua untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Barakallahu fiikum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H