Suatu ketika, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu melihat Rasulullah tidur di atas tikar kasar yang membekas di tubuh mulianya. Dengan mata yang berkaca-kaca, Umar berkata:
"Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani tentu lebih baik dari tikar ini. Engkau adalah Rasulullah. Sedangkan Kisra dan Kaisar tidur di atas ranjang emas."
Kisra sendiri adalah sebutan oleh bangsa Arab untuk raja-raja dari Kekaisaran Persia, sedangkan Kaisar adalah sebutan untuk raja-raja dari Kerajaan Romawi, negeri Syam, dan Al-Jazirah. Namun, jawaban Rasulullah sungguh menohok:
"Apa urusanku dengan dunia ini? Aku di dunia ini hanyalah seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon, lalu pergi meninggalkannya." (HR. Ahmad, at-Tirmidzi)
Begitulah Rasulullah mengajarkan bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara, bukan tujuan akhir. Beliau menanamkan dalam hati para sahabat dan umatnya bahwa kemewahan dunia tak akan pernah bisa membeli ketenangan jiwa dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Makna Kesederhanaan dalam Perspektif Psikologi Agama
Dalam konteks psikologi agama, kesederhanaan Rasulullah adalah simbol dari inner peace atau kedamaian batin yang hakiki. Manusia yang terlalu terpaku pada materi dan kemewahan sering kali dibayangi oleh kegelisahan, kekhawatiran kehilangan, dan rasa kurang puas yang tiada akhir. Rasulullah mengajarkan bahwa kesederhanaan bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kemampuan untuk merasa cukup (qana'ah) dan mensyukuri apa yang ada.
Dari perspektif psikologi positif, kesederhanaan membantu seseorang untuk fokus pada hal-hal yang lebih esensial dalam hidup: hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia, dan kontribusi positif bagi masyarakat. Kesederhanaan menciptakan ruang dalam hati untuk lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih tulus dalam memberi.
Refleksi untuk Zaman Ini: Mengapa Kita Harus Belajar dari Kesederhanaan Rasulullah?
Di tengah maraknya gaya hidup konsumtif dan budaya pamer, kesederhanaan Rasulullah adalah oase di tengah gurun keserakahan. Pemimpin yang hidup sederhana akan lebih mudah merasakan penderitaan rakyatnya. Mereka akan lebih fokus pada tugas dan tanggung jawabnya daripada terpaku pada kemewahan pribadi.
Bagi kita sebagai umat, kesederhanaan Rasulullah adalah cermin untuk mengevaluasi diri. Apakah kita sudah benar-benar memahami hakikat dunia? Apakah kita sudah merasa cukup dengan apa yang Allah berikan? Atau justru kita masih terperangkap dalam obsesi mengejar materi yang tiada habisnya?
Penutup: Meneladani Kesederhanaan Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari