Tidak dapat dipungkiri bahwa memiliki garis keturunan dari keluarga mulia adalah anugerah. Namun, anugerah tersebut bukanlah tiket bebas menuju surga. Di tengah masyarakat kita, sering kali kita temui orang yang merasa istimewa hanya karena gelar "habib", "sayyid", atau keturunan ulama. Bahkan ada yang berani melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat, tetapi berlindung di balik status nasabnya.
Nasab yang mulia justru seharusnya menjadi pendorong untuk lebih bertakwa kepada Allah, bukan sebaliknya. Amal saleh, akhlak mulia, dan ketaatan adalah yang akan dipertanggungjawabkan kelak, bukan silsilah keluarga.
3. Hakikat Kemuliaan di Sisi Allah: Takwa dan Amal Saleh
Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya, yang paling mulia di di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mulia, Mahateliti" (QS. Al-Hujurat, 49: 13)
Ayat ini adalah standar yang jelas dan tidak terbantahkan. Kemuliaan seseorang di hadapan Allah bukanlah dari wajah yang tampan, keturunan yang agung, atau gelar yang panjang, tetapi dari ketakwaannya.
4. Ujian Bagi yang Memiliki Nasab Mulia
Bagi mereka yang diberi anugerah nasab mulia, ini bukanlah alasan untuk merasa lebih baik dari orang lain. Justru ini adalah ujian. Apakah mereka mampu menjaga amanah nasab tersebut dengan amal saleh dan akhlak yang luhur?
Imam Malik pernah berkata: "Barangsiapa yang merasa bangga dengan amal orang tuanya, maka ia adalah orang yang tertipu."
Kita harus berhenti memandang nasab sebagai tameng untuk berbuat semena-mena atau untuk meremehkan orang lain.
5. Jangan Tertipu dengan Pengakuan Kosong
Di zaman ini, tidak sedikit orang yang mengaku-ngaku keturunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya untuk mendapatkan kehormatan di dunia. Bahkan, ada yang sekadar bermodalkan tampang Timur Tengah untuk mengelabui orang awam.