"Menjual rumah warisan bukanlah kehilangan, tetapi amanah yang dikelola dengan niat tulus demi manfaat yang lebih besar bagi keluarga dan umat."
Dalam era digital, banyak aktivitas yang sebelumnya dilakukan secara tertutup kini menjadi lebih terbuka, termasuk menjual rumah warisan. Namun, tak jarang seseorang merasa malu saat harus memasarkan rumah keluarga di media sosial. Bagi sebagian orang, sikap malu ini rasanya aneh dan janggal.
Lalu, apakah rasa malu itu benar-benar beralasan? Bagaimana kita seharusnya memandang fenomena ini dalam perspektif agama, psikologi, dan kemaslahatan bersama? Artikel ini akan membahasnya secara mendalam dengan harapan memberikan pandangan yang jernih dan inspiratif.
Rumah Warisan: Simbol Kenangan, Amanah, dan Tanggung Jawab
Rumah warisan sering kali lebih dari sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol kenangan, tempat berkumpulnya keluarga, dan saksi bisu perjalanan hidup para leluhur. Dalam Islam, harta warisan adalah amanah yang harus dikelola dengan adil dan bijaksana sesuai syariat. Namun, adakalanya kondisi mengharuskan rumah warisan dijual, seperti untuk membagi hasil warisan sesuai syariat, atau memenuhi kebutuhan mendesak keluarga besar.
Menjual rumah warisan bukanlah tindakan yang tercela. Sebaliknya, jika niatnya untuk kebaikan bersama, hal itu bisa menjadi amal yang bernilai ibadah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. Al-Munafiqun: 9)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa harta, termasuk rumah warisan, hanyalah titipan. Pengelolaannya harus berlandaskan nilai maslahat, bukan sekadar mempertahankan status atau simbol sosial.
Mengapa Rasa Malu Itu Timbul?
Rasa malu menjual rumah warisan di media sosial sering kali berasal dari beberapa hal berikut:
Tekanan sosial. Masyarakat sering memandang rumah warisan sebagai simbol kehormatan keluarga. Menjualnya mungkin dianggap sebagai kehilangan "status", sehingga muncul rasa malu. Bisa juga karena terlalu memperhatikan bagaimana orang lain akan memandang si penjual rumah warisan. Padahal, bila niatnya lurus dan kuat semata-mata untuk kebaikan keluarga besar, rasa malu itu sepertinya tidak perlu ada. Juga tidak semestinya ada.
Perasaan bersalah. Ada kekhawatiran dianggap tidak menghormati leluhur, seolah-olah melepas kenangan keluarga.
Komentar negatif di media sosial. Platform digital sering menjadi tempat lahirnya kritik dan penghakiman. Banyak yang takut akan opini negatif dari netizen. Ini bisa terjadi, karena yang diposting lebih banyak untuk framing, flexing atau pencitraan semata. Rasa ego yang enggan terusik.
Namun, Islam mengajarkan bahwa rasa malu yang sejati adalah malu kepada Allah ketika kita melanggar syariat-Nya, bukan malu terhadap hal-hal yang dilakukan dengan niat baik dan benar. Rasulullah SAW bersabda: "Malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Masalahnya sekarang, mana yang lebih besar: niat untuk membantu keluarga besar, atau mengedepankan pertimbangan perasaan dan penilaian diri semata?
Strategi Bijak dalam Menjual Rumah Warisan
Agar proses menjual rumah warisan di media sosial berjalan lancar tanpa beban rasa malu, berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Luruskan niat. Bila niat tidak kuat, atau ego terlalu besar, maka itu tidaklah sehat secara mental. Karena itu, pastikan niat menjual rumah adalah untuk kemaslahatan bersama, seperti membagi hasil warisan secara adil sesuai syariat, atau memenuhi kebutuhan keluarga.
Gunakan media sosial secara profesional. Hindari narasi emosional yang berlebihan. Fokus pada informasi yang relevan, seperti lokasi, harga, dan kondisi rumah. Caranya mudah, amati-tiru-modifikasi dari akun-akun profesional yang menjual rumah, tanah atau properti.
Komunikasikan dengan keluarga. Libatkan semua ahli waris dalam keputusan ini agar tidak ada rasa keberatan, atau salah paham yang dapat memicu konflik. Kedepankan orang yang dituakan, dan mintalah saran dan nasihat-nasihatnya.
Tangkal komentar negatif dengan sikap bijak. Jangan takut menghadapi opini publik. Jika ada yang berkomentar negatif, jawab dengan santun dan jelaskan alasan di balik keputusan tersebut. Orang yang takut atau sering takut dengan opini publik saat memasarkan di media sosial, itu biasanya karena khawatir dinilai negatif, dianggap materialistis, atau tidak menjaga kehormatan keluarga. Selain itu, tekanan dari komentar orang di sekitar, atau dari netizen yang sering tidak konstruktif, membuat rasa malu dan cemas semakin besar. Hal ini diperburuk oleh budaya sosial yang cenderung menghakimi, tanpa memahami konteks niat atau tujuan yang sebenarnya.
Mohon petunjuk Allah SWT. Sebelum memulai, awali dengan doa, bismillah, dan istikharah agar segala keputusan mendapat berkah dan petunjuk dari Allah.
Perspektif Psikologi Agama dan Manfaat Medsos
Dalam psikologi agama, rasa malu yang tidak pada tempatnya bisa menjadi penghalang kemajuan. Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, "Malu adalah akhlak mulia, tetapi ia harus ditempatkan pada konteks yang benar." Ketika malu menjadi penghambat untuk bertindak benar, maka ia harus diluruskan.
Menjual rumah warisan dengan niat baik adalah bagian dari ikhtiar manusia dalam memenuhi tanggung jawabnya. Justru dengan memanfaatkan media sosial secara bijak, kita bisa mempercepat proses penjualan, sehingga manfaatnya dapat segera dirasakan oleh semua pihak.
Memasarkan properti melalui Instagram dan Facebook misalnya, memiliki banyak kelebihan. Seperti, jangkauan luas, kemudahan menargetkan audiens sesuai lokasi dan minat, serta kemampuan menampilkan visual menarik dari properti. Interaksi real-time melalui komentar dan pesan langsung, juga memudahkan komunikasi dengan calon pembeli. Sementara konten kreatif dapat menjadi viral dan memperluas promosi. Tak hanya itu, fleksibilitas dalam memposting konten kapan saja dan fitur portofolio yang meningkatkan kredibilitas penjual, menjadikan kedua platform ini alat pemasaran yang efektif untuk properti rumah dan tanah.
Inspirasi dari Kisah Nabi
Kita dapat mengambil inspirasi dari Nabi Yusuf AS yang diberi amanah untuk mengelola hasil bumi Mesir demi kebaikan umatnya. Beliau tidak malu untuk membuat keputusan besar yang mungkin dianggap kontroversial, karena yakin akan manfaat besar, kebaikan dan keberkahan yang terkandung di dalamnya. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak ragu dalam bertindak selama keputusan itu membawa maslahat yang lebih besar.
Penutup
Menjual rumah warisan, termasuk melalui media sosial, bukanlah tindakan yang perlu memunculkan rasa malu jika dilakukan dengan niat yang tulus dan cara yang bijak. Ingatlah bahwa Allah SWT menilai hati dan niat hamba-Nya, bukan penilaian manusia yang sering kali subjektif.
Gunakan kesempatan ini sebagai bentuk ibadah, dengan harapan bahwa setiap keputusan yang diambil akan membawa keberkahan dan kemaslahatan bagi semua pihak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)
Semoga kita selalu diberi petunjuk dan kelapangan hati untuk bertindak benar sesuai ajaran Islam. Aamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H