Rasa malu menjual rumah warisan di media sosial sering kali berasal dari beberapa hal berikut:
Tekanan sosial. Masyarakat sering memandang rumah warisan sebagai simbol kehormatan keluarga. Menjualnya mungkin dianggap sebagai kehilangan "status", sehingga muncul rasa malu. Bisa juga karena terlalu memperhatikan bagaimana orang lain akan memandang si penjual rumah warisan. Padahal, bila niatnya lurus dan kuat semata-mata untuk kebaikan keluarga besar, rasa malu itu sepertinya tidak perlu ada. Juga tidak semestinya ada.
Perasaan bersalah. Ada kekhawatiran dianggap tidak menghormati leluhur, seolah-olah melepas kenangan keluarga.
-
Komentar negatif di media sosial. Platform digital sering menjadi tempat lahirnya kritik dan penghakiman. Banyak yang takut akan opini negatif dari netizen. Ini bisa terjadi, karena yang diposting lebih banyak untuk framing, flexing atau pencitraan semata. Rasa ego yang enggan terusik.
Namun, Islam mengajarkan bahwa rasa malu yang sejati adalah malu kepada Allah ketika kita melanggar syariat-Nya, bukan malu terhadap hal-hal yang dilakukan dengan niat baik dan benar. Rasulullah SAW bersabda: "Malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan."Â (HR. Bukhari dan Muslim)
Masalahnya sekarang, mana yang lebih besar: niat untuk membantu keluarga besar, atau mengedepankan pertimbangan perasaan dan penilaian diri semata?Â
Strategi Bijak dalam Menjual Rumah Warisan
Agar proses menjual rumah warisan di media sosial berjalan lancar tanpa beban rasa malu, berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:
Luruskan niat. Bila niat tidak kuat, atau ego terlalu besar, maka itu tidaklah sehat secara mental. Karena itu, pastikan niat menjual rumah adalah untuk kemaslahatan bersama, seperti membagi hasil warisan secara adil sesuai syariat, atau memenuhi kebutuhan keluarga.
Gunakan media sosial secara profesional. Hindari narasi emosional yang berlebihan. Fokus pada informasi yang relevan, seperti lokasi, harga, dan kondisi rumah. Caranya mudah, amati-tiru-modifikasi  dari akun-akun profesional yang menjual rumah, tanah atau properti. Â
Komunikasikan dengan keluarga. Libatkan semua ahli waris dalam keputusan ini agar tidak ada rasa keberatan, atau salah paham yang dapat memicu konflik. Kedepankan orang yang dituakan, dan mintalah saran dan nasihat-nasihatnya.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!