"Ketika singa penjaga hutan diberi diet rumput, siapa yang berani memastikan hyena dan tikus-tikus tidak berpesta pora di meja rakyat?"
Di sebuah negeri Huhuhaha, ada lembaga bernama Komisi Anti Rasuah. Lembaga ini dulunya terkenal sebagai singa penjaga hutan belantara keuangan negara. Dengan gigi tajamnya, ia kerap menerkam para penyusup dan penggelap dana yang mencoba mengambil apa yang bukan haknya. Tetapi, entah bagaimana, belakangan ini gigi singa tersebut mulai tanggal satu per satu, hingga suatu hari seorang dokter gigi bernama Pak Jojo mengusulkan sesuatu yang mengejutkan.
"Saudara-saudara sekalian," kata Pak Jojo dalam sebuah rapat akbar. "Bagaimana kalau kita cabut saja semua gigi singa ini? Biar lebih... ehm... ramah lingkungan."
Para anggota dewan yang hadir langsung bertepuk tangan riuh. Mereka gembira luar biasa, nyaris standing applause. "Ide brilian, Pak Jojo!" seru salah satu anggota yang tampaknya lupa bahwa tugas singa adalah menerkam, bukan senyum-senyum manis di kebun binatang.
Pak Jojo melanjutkan, "Toh, selama ini gigi itu terlalu tajam dan membuat orang-orang takut mendekat. Kalau singanya ompong, kan jadi lebih mudah diajak selfie."
Dewan setuju. Mereka bahkan mengusulkan agar singa itu diubah menjadi herbivora, supaya tidak menyeramkan lagi. "Cukup makan rumput saja, biar hemat anggaran," usul seorang anggota sambil tersenyum penuh semangat.
OTT Berubah Jadi "OKB"
Dalam rapat itu pula, ada usulan lain yang cukup menggelitik. "Operasi Tangkap Tangan (OTT) ini terlalu ribet, Bapak Ibu sekalian," kata Pak Wiwi, seorang penasihat yang dikenal jenius dalam mengajukan ide-ide absurd. "Bagaimana kalau kita ubah menjadi Operasi Ketok Bungkus (OKB)? Lebih efisien, hemat waktu, dan semua orang senang."
"OKB itu apa maksudnya, Pak?" tanya seorang anggota yang tampaknya baru bangun dari tidur siangnya.
"Oh, simpel saja. Daripada repot-repot menangkap pelaku korupsi di lokasi kejadian, kita cukup ketok palu saja di pengadilan dan bungkusi kasusnya dengan rapi. Praktis, kan?" jawab Pak Wiwi dengan mata berbinar.
"Bisa juga kan, kalau ditelepon dulu sebelum diperiksa. Ini jauh lebih hemat, daripada diintip satu tahun dan dibuntuti, eh ternyata dia juga sedang ngintip atasannya. Jadi ribet, dan boros anggaran, kan", katanya melanjutkan dengan penuh semangat.
Para anggota dewan terdiam sejenak, mungkin merenung. Lalu, seolah mendapat pencerahan, mereka bersorak, "Genius sekali, Pak Wiwi!"
Generasi Muda: Penonton atau Pemain?
Sementara itu, para pemuda di negeri Huhuhaha ini menonton drama kebijakan tersebut dari layar ponsel mereka. "Eh, bro, serius nih? Singa penjaga hutan mau dijadiin vegetarian?" tanya seorang mahasiswa sambil menyeruput kopi sachet.
"Iya, katanya biar lebih inklusif," jawab temannya sambil terkekeh. "Kayaknya, ini ide paling absurd sejak mereka bikin jalan tol buat sepeda."
Tapi di balik tawa itu, mereka juga mulai merasa gelisah. "Kalau nggak ada singa yang menjaga, siapa yang bakal ngejar hyena-hyena itu, bro?" tanya salah satu dari mereka.
"Entahlah, mungkin kita sendiri yang harus jadi singa," jawab temannya sambil menatap kosong ke arah kalender akademiknya yang penuh coretan deadline.
Humor Reflektif untuk Diskusi Serius
Cerita ini, meski penuh tawa dan satire, sebenarnya adalah sebuah refleksi dari betapa pentingnya sebuah lembaga pengawas tetap kuat, tajam, dan independen. Ketika lembaga seperti KPK (atau Komisi Anti Rasuah dalam parodi ini) kehilangan gigi, bukan hanya koruptor yang tertawa, tapi juga harapan akan masa depan yang bersih dari korupsi perlahan memudar.
Jadi, mari kita tertawa sejenak, lalu bertanya: Apakah kita mau membiarkan singa penjaga hutan ini berubah menjadi boneka pajangan? Ataukah kita, generasi muda, siap melangkah ke gelanggang dan memastikan keadilan tetap hidup di negeri ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H