Imam Asy Syafi'i rahimahullah berkata:
"Hiasan seseorang itu tiga: menyembunyikan kefakiran hingga orang mengira ia kaya, menyembunyikan marah hingga orang mengira ia ridho, dan menyembunyikan kesusahan hingga orang mengira ia senang."
Kata-kata Imam Asy Syafi'i ini mengandung kedalaman makna yang sangat relevan dalam kehidupan kita saat ini. Di era modern, di mana tekanan hidup dan ekspektasi sosial sering kali tinggi, ketiga hiasan yang beliau paparkan ini merupakan bentuk kekuatan diri yang bukan hanya memperindah kepribadian seseorang tetapi juga menjadi jalan menuju ketenangan batin dan kedamaian sosial.
Dalam perspektif psikologi positif, sikap ini pun merupakan bentuk ketahanan diri (resilience) dan kedewasaan emosional yang mengakar pada nilai-nilai luhur agama Islam.
Menyembunyikan Kefakiran: Melatih Kesyukuran dan Menjaga Harga Diri
"Menyembunyikan kefakiran hingga orang mengira ia kaya" adalah simbol kekuatan yang mendorong kita untuk tidak menjadikan keterbatasan finansial sebagai kelemahan. Hal ini bukan berarti menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya dalam arti menghalangi seseorang untuk menerima bantuan atau dukungan ketika sangat diperlukan. Sebaliknya, hal ini adalah sikap hati yang penuh rasa syukur dan qana'ah, sehingga kita mampu menjaga martabat tanpa menampakkan kekurangan.
Dalam psikologi positif, praktik ini dikenal sebagai self-acceptance, yaitu menerima diri dengan segala keterbatasan, dan gratitude, yang merupakan rasa syukur atas apa pun yang dimiliki. Kedua aspek ini terbukti secara ilmiah mampu mengurangi rasa cemas dan meningkatkan kebahagiaan. Ketika kita fokus pada apa yang kita miliki daripada kekurangan kita, kita menciptakan citra diri yang lebih sehat, menjaga harga diri, dan meraih ketenangan batin.
Menyembunyikan Marah: Meraih Kedamaian dengan Menahan Emosi
Bagian kedua dari pesan Imam Asy Syafi'i adalah "menyembunyikan marah hingga orang mengira ia ridho". Di sini, menyembunyikan marah bukan berarti memendam amarah secara negatif, melainkan tentang mengendalikan diri dalam menghadapi situasi yang memancing emosi.
Rasulullah SAW sendiri dalam banyak hadits menekankan pentingnya menahan amarah sebagai bentuk kekuatan, bukan kelemahan. Misalnya, sabda beliau yang terkenal: "Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah."
Dalam kajian psikologi positif, ini berkaitan erat dengan konsep emotional regulation, yaitu kemampuan mengatur emosi dengan baik. Melalui pengendalian diri, kita menjaga agar amarah tidak merusak hubungan dan menghancurkan keharmonisan sosial. Praktik ini juga membuat seseorang lebih bijak dalam menyelesaikan konflik, menghasilkan keputusan yang lebih jernih, dan menjaga hubungan interpersonal yang sehat.