"Kebahagiaan seorang hamba bukanlah sekadar perasaan, tetapi ketenangan yang lahir dari kedekatan dengan Allah, tercermin dalam amal, akhlak, dan kepedulian kepada sesama."
Kebahagiaan itu dambaan setiap insan. Namun, dalam pandangan Islam, kebahagiaan seorang hamba bukan sekadar perasaan senang atau keadaan tanpa masalah. Ia adalah kedamaian hati yang terpancar dari kedekatan kepada Allah, yang menyejukkan jiwa dan membuahkan amal-amal kebaikan.
Betapa indahnya sebuah kehidupan yang penuh kedamaian, di mana hati selalu tenang dan jiwa senantiasa lapang, meski badai persoalan datang silih berganti. Bukan karena keadaan dunia di sekelilingnya sempurna, tetapi karena ia menemukan kebahagiaan dalam kedekatan dengan Sang Pencipta.
Kebahagiaan sejati seperti ini bukanlah ilusi; ia hadir dalam wujud nyata di hati seorang hamba yang merasa cukup, tenteram, dan bahagia hanya dengan menyadari bahwa dirinya berada di jalan yang diridai Allah.
Namun, kebahagiaan seorang hamba yang sejati tidak terletak pada apa yang tampak di luar, melainkan pada apa yang tersembunyi di dalam---hati yang dipenuhi ketulusan, jiwa yang kaya akan kebaikan, dan kesabaran yang tak tergoyahkan. Lalu, seperti apa tanda-tanda kebahagiaan yang sesungguhnya itu? Adakah indikator-indikator yang bisa kita pelajari dan teladani agar hidup kita terasa lebih bermakna, tenteram, dan bahagia?
Menjawab pertanyaan ini, Imam Asy-Syathiby rohimahullah telah merumuskan tanda-tanda kebahagiaan seorang hamba dalam sebuah nasihat yang sarat makna: kemudahan dalam beribadah, mengikuti sunnah, bergaul dengan orang shalih, berakhlak mulia, mencurahkan kebaikan, peduli terhadap umat, dan menjaga waktu.
Artikel ini akan menguraikan tanda-tanda tersebut dalam perspektif Islam dan psikologi positif, dan memberikan panduan bagi kita semua untuk mencapai kebahagiaan sejati yang mendalam.
1. Kemudahan Melakukan Ketaatan
Kebahagiaan seorang hamba dimulai dengan kelapangan hati dalam beribadah. Saat seseorang diberi kemudahan dalam melaksanakan shalat, membaca Al-Qur'an, dan berpuasa, itu adalah tanda bahwa Allah menginginkan kebaikan baginya. Kecintaan kepada ibadah ini bukan hanya mempererat hubungan dengan Allah, namun juga menumbuhkan rasa syukur dan ketenangan yang berlipat.
Dalam perspektif psikologi positif, praktik spiritual yang konsisten memperkuat 'resilience' atau ketahanan diri, membuat kita lebih mampu menghadapi kesulitan hidup. Rasa bahagia yang mendalam pun tercipta dari perasaan bahwa kita sedang menjalani tujuan hidup yang lebih besar daripada sekadar kepentingan pribadi.
2. Mengikuti Sunnah dalam Perbuatan
Mengikuti sunnah Rasulullah SAW bukan sekadar pilihan, melainkan jalan kebahagiaan yang nyata. Kehidupan Nabi Muhammad adalah contoh sempurna bagi kita, dari cara beribadah hingga bersosialisasi. Ketika kita meneladani beliau, kita mendapatkan "blueprint" kebahagiaan, yang membentuk akhlak, kesabaran, serta kemampuan mengendalikan emosi dalam menghadapi berbagai situasi hidup.
Dari sudut pandang psikologi, mengikuti suatu role model memberikan arahan dan stabilitas mental yang kuat. Dengan demikian, kebahagiaan seorang hamba dapat tumbuh dari ketundukan yang tulus terhadap tuntunan Rasulullah SAW.
3. Bergaul dengan Orang-Orang Shalih
"Teman-teman seiman adalah cerminan diri," ungkapan ini mengingatkan bahwa siapa yang kita jadikan sahabat memengaruhi kualitas hidup dan kebahagiaan kita. Bergaul dengan orang-orang yang baik, yang selalu mengingatkan kita pada kebaikan dan ketaatan, adalah bagian dari kebahagiaan. Orang-orang shalih membawa ketenangan dan inspirasi dalam hidup kita.
Menurut psikologi positif, lingkungan yang sehat memberikan dukungan sosial yang kuat, memperkuat rasa percaya diri, serta meningkatkan 'hormones of happiness' seperti oksitosin. Bersama orang shalih, seorang hamba merasa didukung dan dikuatkan dalam jalan kebenaran.
4. Berakhlak Mulia kepada Saudara-Saudara Seiman
Akhlak yang baik kepada sesama merupakan cerminan hati yang bersih. Seseorang yang bahagia tidak hanya merasakan kebahagiaan bagi dirinya, tetapi juga ingin membagikannya kepada orang lain. Dia selalu menghargai, memahami, dan memaafkan orang lain. Dalam Islam, akhlak mulia adalah salah satu pilar kebahagiaan, karena memudahkan hubungan sosial dan menghindari konflik.
Dari perspektif psikologi, kebaikan kepada orang lain mengaktifkan "helper's high" yang menghasilkan endorfin, hormon bahagia, membuat perasaan kita lebih positif dan jiwa terasa ringan.
5. Mencurahkan Kebaikan kepada Hamba-Hamba Allah
Salah satu tanda kebahagiaan adalah hasrat untuk berbagi kebaikan kepada orang lain, baik berupa harta, ilmu, atau tenaga. Dengan berbagi, kita merasakan makna hidup yang lebih besar. Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian psikologi positif, berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu cara tercepat untuk merasa bahagia. Berbagi kebaikan meningkatkan kepuasan hidup dan memberi rasa kebermaknaan, memperkuat kebahagiaan kita sebagai hamba Allah.
6. Peduli terhadap Keadaan Kaum Muslimin
Peduli terhadap sesama muslim adalah bagian dari kebahagiaan yang tertanam dalam hati seorang mukmin. Sikap ini mencakup empati, doa, dan bahkan bantuan yang bisa diberikan. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka ia bukanlah bagian dari mereka."
Saat kita peduli pada sesama, ada perasaan tersendiri yang membahagiakan, karena kita merasa terhubung dan berperan dalam kehidupan mereka. Secara psikologis, kepedulian ini memperkuat ikatan sosial, meminimalisasi stres, serta meningkatkan ketenangan hati yang memberikan kebahagiaan abadi.
7. Menjaga Waktu
Menjaga waktu adalah tanda dari kedisiplinan dan tanggung jawab. Dalam Islam, waktu adalah amanah, dan membuang-buangnya adalah bentuk ketidaksyukuran. Hamba yang bahagia memanfaatkan waktunya untuk hal-hal produktif, yang mendekatkan dirinya kepada Allah dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Secara psikologi, penggunaan waktu yang efektif berkontribusi pada well-being karena menciptakan rasa kontrol diri dan mengurangi perasaan cemas. Dengan menjaga waktu, kita menyelaraskan hidup kita dengan nilai-nilai yang lebih besar, membuat kita lebih tenang dan bahagia.
Kesimpulan: Bahagia dengan Kedekatan kepada Allah dan Kebaikan kepada Sesama
Sebagai hamba Allah, kebahagiaan tidak hanya soal diri sendiri, melainkan soal bagaimana kita menjadi individu yang lebih baik, mendekatkan diri kepada Allah, dan memberi manfaat bagi orang lain. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dicari semata, melainkan hasil dari hidup yang penuh makna, keteraturan, dan kepedulian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI