"Mengelola anggaran dengan integritas adalah langkah pertama untuk membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Setiap kebocoran adalah kesempatan yang hilang untuk kemajuan bersama"
Kebocoran anggaran negara, meskipun bukan isu baru, tetap menjadi permasalahan laten yang mengakar dalam pengelolaan keuangan pemerintahan di Indonesia. Di setiap tingkatan pemerintahan, baik pusat maupun daerah, kesenjangan antara perencanaan dan realisasi anggaran selalu menjadi celah yang dimanfaatkan oleh oknum untuk memperkaya diri.Â
Pada tahun 2023, hasil pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan angka yang memprihatinkan: lebih dari separuh (53,95%) perencanaan dan penganggaran daerah tidak efektif dan efisien, bahkan menelan kerugian negara lebih dari Rp141 triliun. Kondisi ini menggambarkan betapa besar tantangan yang harus dihadapi dalam upaya menciptakan pengelolaan anggaran yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Modus-modus Kebocoran Anggaran yang Masih Bertahan
Sebagaimana yang diungkapkan oleh BPKP, kebocoran anggaran di berbagai daerah masih menggunakan modus yang sama, yang sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun. Meski beragam sistem telah dibangun untuk mengatasi masalah ini, termasuk sistem e-procurement dan e-katalog, kebocoran tetap terjadi.
Modus pertama yang paling banyak ditemukan adalah manipulasi dalam perencanaan dan penganggaran. Modus ini memungkinkan para pejabat untuk mengatur anggaran agar dapat diakses secara tidak sah oleh pihak tertentu. Tidak hanya itu, suap, gratifikasi, nepotisme, dan kronisme dalam perizinan turut memperburuk kondisi.
Selain itu, penggunaan diskresi kebijakan sebagai alasan untuk melakukan tindakan tidak sah, serta penggelembungan harga dalam proyek-proyek pengadaan barang dan jasa, menjadi modus lain yang kerap digunakan. Bahkan pungutan liar dalam pemberian izin dan manipulasi dalam penatausahaan serta pelaporan keuangan masih marak terjadi, menunjukkan bahwa sistem pengawasan yang ada belum cukup kuat untuk menanggulangi tindakan-tindakan tersebut.
Kondisi Terkini dan Kegagalan dalam Menerapkan Pengendalian
Lebih dari itu, data yang diperoleh dari BPKP menunjukkan bahwa hanya 9% dari total pemerintah daerah (pemda) yang telah menerapkan pengendalian kecurangan yang memadai. Sisanya, yakni 91% pemda, masih terjerat dalam pengelolaan anggaran yang buruk dan rentan terhadap penyimpangan.
Hal ini mengindikasikan bahwa tata kelola anggaran di daerah tidak cukup serius untuk melakukan pembenahan. Apakah para pejabat merasa nyaman dengan celah-celah yang ada? Ataukah mereka sengaja membiarkan celah tersebut untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok?
Fenomena ini menggambarkan betapa lemahnya sistem pengelolaan keuangan negara, meskipun sudah ada berbagai upaya untuk memperbaiki dan memperkuat sistem yang ada. Sistem pengadaan barang dan jasa yang seharusnya bisa mengurangi celah korupsi malah bisa dimanipulasi oleh mereka yang terlibat dalam persekongkolan, dengan sepakat menentukan harga dan pemenang tender di luar ketentuan yang berlaku.