Di era globalisasi, tim lintas budaya kini semakin lazim. Pemimpin dengan empati tinggi mampu memahami nilai-nilai dan kebiasaan yang berbeda dalam tim mereka, yang memperkuat keterlibatan dan kolaborasi. McKinsey menyatakan bahwa organisasi yang inklusif secara budaya memiliki peluang 35% lebih besar untuk mencapai kinerja yang lebih baik dibandingkan organisasi yang homogen.
Misalnya, ketika manajer memimpin tim yang beranggotakan karyawan dari budaya yang berbeda, ia perlu memahami dan menghormati nilai-nilai setiap anggota. Jika ada perbedaan dalam waktu kerja atau cara berkomunikasi, pemimpin yang empatik akan mencari solusi fleksibel yang dapat diadaptasi untuk menciptakan harmoni dalam tim.
4. Menggunakan Teknologi sebagai Alat, Bukan Pengganti Interaksi Interpersonal
Teknologi komunikasi seperti Slack, Zoom, dan Microsoft Teams kini menjadi alat utama untuk kolaborasi. Namun, penggunaan teknologi ini harus diimbangi dengan pendekatan personal agar komunikasi tetap bermakna. Sebuah survei dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa 89% karyawan merasa lebih terhubung dengan perusahaan jika mereka merasa "didengar" meskipun melalui platform digital.
Misalnya, dalam rapat online, manajer yang efektif akan menyempatkan diri menanyakan kabar anggota tim atau memberikan apresiasi sebelum masuk ke topik utama. Sentuhan kecil seperti ini memberi kesan bahwa pemimpin memperhatikan kesejahteraan timnya, yang memperkuat loyalitas dan komitmen dalam bekerja.
5. Komunikasi dan Empati sebagai Pilar Utama di Era Transformasi Digital
Selama proses transformasi digital, banyak karyawan mengalami ketidakpastian. Di sini, kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan empatik sangatlah penting. Penelitian oleh Deloitte menunjukkan bahwa karyawan yang merasa didukung dan dihargai lebih mampu beradaptasi dengan perubahan. Empati menjadi penopang bagi mereka dalam menghadapi tantangan ini, sementara komunikasi yang jelas mengurangi keraguan dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Sebagai contoh, saat mengimplementasikan sistem baru, seorang pemimpin dapat menjelaskan dengan transparan alasan perubahan, serta melibatkan tim dalam proses ini. Dengan demikian, tim merasa menjadi bagian dari perubahan, bukan sekadar pelaksana yang pasif, sehingga meningkatkan keterlibatan mereka dalam menyukseskan transformasi.
6. Mengintegrasikan Komunikasi dan Empati sebagai Budaya Organisasi
Pemimpin yang efektif tidak hanya mempraktikkan komunikasi dan empati pada tingkat individu tetapi juga membangun budaya yang menghargai keterbukaan dan rasa peduli dalam organisasi. Menurut penelitian oleh Society for Human Resource Management (SHRM), 58% karyawan menyatakan bahwa budaya kerja yang suportif meningkatkan motivasi dan kebahagiaan mereka.
Misalnya, seorang manajer yang berkomitmen terhadap komunikasi terbuka akan mendorong anggota tim untuk memberikan umpan balik tanpa rasa takut. Ketika anggota tim merasa lingkungan kerja mendukung ekspresi dan ide mereka, mereka akan lebih termotivasi untuk berkontribusi maksimal dan merasa dihargai.